Konon,
pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, hiduplah
seorang janda bersama dua orang anak laki-lakinya yang sudah remaja. Anak
pertamanya bernama Ambun, sedangkan anak keduanya bernama Rimbun. Banyak orang
di kampung itu mengira mereka saudara kembar, karena wajah dan perawakan
keduanya mirip sekali. Namun sebenarnya mereka bukanlah saudara kembar, karena
umur keduanya selisih satu tahun.
Ambun
dan Rimbun adalah anak yang rajin dan hormat kepada orang tua. Setiap hari
mereka membantu ibunya mencari kayu bakar ke hutan dan menjualnya ke pasar. Pada
suatu sore, Rimbun melihat abangnya termenung seorang diri di beranda rumah
mereka.
“Bang! Apa yang sedang Abang pikirkan?”
tanya Rimbun.
“Abang sedang memikirkan nasib keluarga
kita. Kalau setiap hari hanya mencari kayu bakar, kehidupan kita tidak akan
pernah membaik,” keluh Ambun.
“Lalu, apa rencana Abang?” tanya
Rimbun.
“Abang akan pergi merantau untuk
mengubah nasib keluarga kita. Banyak orang di kampung ini kehidupannya menjadi
lebih baik sepulangnya dari merantau,” jelas Ambun.
“Wah, kalau begitu, Adik akan ikut
Abang,” kata Rimbun.
“Jangan, Dik! Kamu di sini saja
menemani ibu. Kalau Adik ikut, kasihan ibu ditinggal sendiri,” cegah Ambun.
“Tidak, Bang! Adik harus ikut Abang,”
tegas Rimbun bersikukuh ingin pergi merantau bersama Abangnya.
“Baiklah, kalau begitu,” kata Rimbun
mengizinkan adiknya ikut serta.
Malam harinya, kedua kakak-beradik itu
menyampaikan niat mereka kepada sang Ibu. Mendengar hal itu, sang Ibu hanya
terdiam. Ia bingung bagaimana menyikapi keinginan kedua putranya. Menurutnya,
apa yang dikatakan kedua putranya itu memang benar, bahwa merantau dapat
memperbaiki kehidupan keluarga mereka, tetapi di satu sisi, umur mereka masih
sangat muda.
“Bagaimana, Bu? Apakah ibu mengizinkan
kami pergi?” Ambun kembali bertanya.
“Sebenarnya Ibu merasa berat
mengizinkan kalian pergi. Ibu khawatir terhadap keselamatan kalian berdua di
rantau. Kalian masih terlalu muda untuk merantau,” jawab sang Ibu dengan berat
hati.
“Iya, Bu! Tapi, kami berdua bisa jaga
diri dan saling menjaga,” sahut Rimbun.
“Baiklah, kalau memang kalian
bersikukuh akan pergi, Ibu mengizinkan. Tapi Ibu berpesan, kalian harus
menghormati orang lain dan jangan berpisah. Kalaupun harus berpisah, hendaknya
kalian saling mengabari,” ujar sang Ibu.
“Terima kasih, Bu!” ucap keduanya
serentak dengan perasaan gembira.
Ambun dan Rimbun segera menyiapkan
segala keperluan mereka, termasuk celana dan baju mereka yang terbuat dari
kulit kayu. Sementara sang Ibu sibuk menyiapkan makanan untuk bekal mereka di
jalan. Ia memasak empat belas buah ketupat dan empat belas butir telur ayam
untuk mereka berdua. Masing-masing mendapat tujuh buah ketupat dan tujuh biji
telur ayam. Setelah itu, ia mengambil beberapa butir beras dan mencelupkannya
ke dalam air, lalu mengoleskannya di ubun-ubun mereka seraya berdoa:
“Semoga Ranying Hatalla Langit (semoga
Tuhan melidungi kalian berdua).”
Saat tengah malam, perempuan paruh baya
itu membuka sebuah peti besi kecil berisi dua bilah dohong (keris pusaka) yang
bentuk dan ukurannya sama. Yang satu berlilitkan kain merah dan yang satunya
lagi berlilitkan kain kuning. Yang berlilitkan kain merah diserahkan kepada
Ambun, sedangkan yang berlilitkan kain kuning diberikan kepada Rimbun.
“Senjata pusaka ini adalah peninggalan
almarhum ayah kalian. Tapi, ingat! Senjata ini hanya boleh kalian gunakan jika
dalam keadaan mendesak,” pesan sang Ibu seraya mencium kening kedua putra
tercintanya.
“Baik, Bu! Kami akan selalu mengingat
pesan Ibu,” kata Ambun dan Rimbun serentak.
Keesokan harinya, Ambun dan Rimbun
bersiap-siap untuk berangkat dan berpamitan kepada sang Ibu tercinta. Suasana
haru pun menyelimuti hati sang Ibu dan kedua putranya itu. Air mata sang Ibu
tidak dapat dibendung lagi. Demikian pula kedua orang kakak-beradik itu. Mereka tidak
kuat menahan rasa haru.
“Berangkatlah, Nak! Nanti kalian
kemalaman di jalan. Jika sudah berhasil, cepatlah kembali menemani Ibu di
sini!” pesan sang Ibu.
“Baik, Bu! Kami akan segera kembali
jika sudah berhasil,” jawab keduanya serentak.
Usai mencium tangan sang Ibu, keduanya
pun pergi meninggalkan kampung halaman mereka. Sang Ibu berdiri di depan pintu
sambil melambaikan tangan mengiringi kepergian kedua putranya. Setelah keduanya
menghilang di tikungan jalan kampung, barulah ia masuk ke dalam rumah. Ambun dan Rimbun berjalan mendaki
gunung, menuruni lembah, dan menyeberangi sungai. Mereka berjalan mengikuti
arah matahari terbenam. Saat malam tiba, mereka berhenti untuk beristirahat. Ketupat dan
telur pemberian sang Ibu mereka makan sedikit-sedikit. Ketika matahari mulai
menampakkan wajahnya di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Tidak terasa, sudah berhari-hari mereka berjalan.
Ketika memasuki hari ketujuh, Rimbun mendadak
jatuh sakit, karena kelelahan berjalan jauh. Melihat kondisi
adiknya itu, Ambun menjadi panik. Ia pun mencoba mengobati adiknya dengan
memberinya minuman dari berbagai macam air akar-akaran. Namun, tidak satu pun
yang mampu menyembuhkannya. Tidak terasa air matanya pun bercucuran membasahi
pipinya. Ia sangat menyesal dan merasa bersalah karena telah mengizinkan
adiknya ikut serta. Beberapa saat kemudian, Rimbun akhirnya meninggal dunia.
“Rimbun Adikku! Jangan tinggalkan
Abang!” teriak Ambun memecah kesunyian di tengah hutan.
Namun apa hendak diperbuat, adik
tercintanya benar-benar telah menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan
diselimuti perasaan sedih, Ambun segera menggali lubang untuk kuburan adiknya.
Setelah menguburkan jazad adiknya, Ambun mencabut dohong adiknya. Mata dohong
itu ditancapkan di bagian kepala, sedangkan warangkanya ditancapkan di bagian
kaki kuburan itu. Sementara kain berwarna kuning pembungkus dohong itu
diikatkan pada nisannya. Setelah itu, Ambun melanjutkan
perjalanan dengan menyusuri hutan lebat. Saat hari menjelang siang, perutnya
terasa lapar. Ia pun membuka bungkusan makanannya di bawah sebuah pohon besar
dan tinggi. Setelah bungkusan itu terbuka, barulah ia menyadari ternyata
bekalnya sudah habis. Hatinya pun mulai cemas. Ia lalu memanjat pohon besar dan
tinggi tempatnya berteduh itu. Sesampainya di atas, ia melihat kepulan asap
tidak jauh dari tempatnya berada.
“Wah, pasti ada orang di sana,”
pikirnya dengan perasaan gembira.
Tanpa berpikir panjang, ia segera turun
dari atas pohon lalu berjalan menuju ke arah kepulan asap. Setelah beberapa
lama berjalan, terlihatlah sebuah rumah di tengah hutan. Saat menghampiri rumah
itu, ia melihat seorang nenek sedang mengumpulkan kayu bakar di samping
rumahnya. Agar nenek itu tidak terkejut, ia pun mendehem.
“Hemm, sedang apa, Nek?” tanya Ambun.
“Mengumpulkan kayu bakar,” jawab nenek
itu.
“Siapa engkau ini anak muda? Kenapa
bisa sampai ke tempat ini?” nenek itu balik bertanya.
“Saya Ambun, Nek,” jawab Ambun, lalu ia
menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga sampai di tempat itu.
“Nenek berduka cita atas meninggalnya
adikmu,” kata nenek itu dengan perasaan haru.
Oleh karena merasa kasihan, perempuan
tua itu mengizinkan Ambun untuk tinggal bersamanya. Setiap hari Ambun membantunya
untuk mencari kayu bakar. Si Nenek pun sangat menyayangi Ambun seperti cucunya
sendiri. Pada suatu hari, sambil mengumpulkan
kayu bakar, nenek itu bercerita kepada Ambun bahwa sebenarnya ia adalah bagian
dari keluarga Kerajaan Sang Sambaratih. Ia diusir karena pernikahannya dengan
almarhum suaminya yang berasal dari rakyat biasa. Meskipun dikucilkan dari
istana, nenek malang itu masih mendapat perhatian dari sebagian keluarga
istana. Hampir setiap minggu ada pengawal istana yang mengantarkan makanan untuknya.
Suatu hari, datanglah dua orang utusan
dari istana Sang Sambaratih membawa makanan untuk si Nenek. Sebelum kembali ke
istana, kedua utusan tersebut memberitahukan kepadanya bahwa raja akan
mengadakan sayembara memetik bunga melati. Barangsiapa yang dapat melompat dari
halaman rumah istana sampai ke atap istana untuk mengambil bunga melati, dan
menyerahkannya kepada putri raja, maka dia akan dijadikan menantu raja. Akan tetapi
jika gagal, maka dia akan mendapat hukuman gantung. Si Ambun yang mendengar kabar itu,
hampir semalaman tidak dapat memejamkam matanya. Ia ingin sekali
mengikuti sayembara itu. Keesokan harinya, Ambun menemui si Nenek.
“Nek, bolehkah Ambun mengikuti
sayembara itu?” tanya Ambun.
“Oh jangan, Cucuku! Kamu akan dihukum
gantung jika gagal memetik bunga melati itu,” cegah si Nenek.
“Nenek tidak usah khawatir. Ambun pasti
dapat mengatasinya,” kata si Ambun seraya memperlihatkan senjata dohongnya.
“Benda apa ini, Cucuku?” tanya si Nenek
penasaran.
“Senjata pusaka peninggalan ayahku,
Nek. Senjata ini dapat menolong jika diperlukan,” jelas Ambun.
Si Nenek pun yakin dan percaya dengan
kata-kata Ambun, dan mengizinkannya untuk mengikuti sayembara tersebut.
Keesokan harinya, Ambun sudah bersiap-siap berangkat menuju istana untuk
mengikuti sayembara tersebut.
“Maaf, Nek! Ambun ada satu permintaan,”
kata Ambun.
“Apakah itu, Cucuku?” tanya si Nenek
penasaran.
“Bersediakah Nenek menyaksikan
sayembara itu. Jika seandainya Ambun gagal, Nenek dapat menyaksikan Ambun
menjalani hukuman gantung, dan saat itu adalah pertemuan terkahir kita,” bujuk
Ambun.
Oleh karena sayang kepada Ambun, nenek
itu pun memenuhi keinginan Ambun. Maka berangkatlah mereka berdua menuju
istana. Selama dalam perjalanan, si Nenek senantiasa diselimuti perasaan cemas.
Sementara si Ambun meminta kepada si Nenek untuk mendoakannya agar dapat meraih
kemenangan. Setibanya di halaman istana, penonton
sudah penuh sesak dan para peserta sudah bersiap-siap mengikuti sayembara.
Peserta sayembara tersebut terdiri dari delapan orang, yaitu tujuh pangeran
dari kerajaan bawahan Kerajaan Sang Sambaratih, dan si Ambun sendiri. Satu per
satu pangeran tersebut mengeluarkan kesaktiannya, namun tak seorang pun yang
berhasil melompat ke atap istana dan memetik bunga melati. Kini giliran Ambun
yang akan memperlihatkan kesaktiannya. Ketika Ambun memasuki arena, para
penonton bertepuk tangan disertai dengan suara ejekan. Mereka meragukan
kemampuan Ambun. Jangankan Ambun yang hanya orang kampung, para pangeran saja
tidak satu pun yang berhasil melalui ujian itu. Namun dengan penuh percaya
diri, Ambun tetap tenang dan berkonsentrasi penuh. Saat mengambil
ancang-ancang, dengan suara nyaring Ambun berteriak memanggil ayahnya sambil
mencabut dohong pusaka yang terselip dipinggangnya.
Dengan secepat kilat, Ambun melejit ke
atas atap memetik bunga melati itu dan menyerahkannya kepada tuan putri yang
duduk di samping raja. Seketika itu pula suara tepuk tangan dan teriakan
penonton bergemuruh bagaikan membelah bumi. Suara teriakan penonton bukan lagi
suara ejekan, melainkan suara kekaguman melihat kesaktian Ambun. Raja yang
menyaksikan peristiwa itu langsung berdiri sambil bertepuk tangan dengan penuh
kekaguman.
Sementara ketujuh pangeran tersebut
merasa tidak puas. Mereka pun menyatakan perang kepada raja Sang Sambaratih.
Namun atas bantuan Ambun dengan senjata dohongnya, ketujuh pangeran tersebut
dapat dikalahkan. Akhirnya, Ambun dinikahkan dengan putri raja. Pesta
pernikahannya dilangsungkan dengan meriah selama tujuh hari tujuh malam. Seminggu setelah pernikahan mereka,
raja Sang Sambaratih menyerahkan kekuasaannya kepada Ambun, karena sudah tua.
Sejak dinobatkan menjadi raja, Ambun berusaha mencari ibunya. Pada suatu hari,
Ambun bersama beberapa orang pengawalnya menyusuri jalan yang pernah dilaluinya
ketika ia berangkat merantau. Setelah tujuh hari tujuh malam berjalan, ia pun
menemukan ibunya. Alangkah bahagianya sang Ibu saat melihat anaknya kembali dan
berhasil menjadi raja. Namun, di satu sisi, sang Ibu tetap bersedih karena
kehilangan Rimbun anak bungsunya.
Oleh karena tidak ingin melihat ibunya
bersedih, Ambun bersama ibu dan para pengawalnya pergi mencari kuburan Rimbun.
Setelah menemukan kuburan Rimbun, Ambun segera memerintahkan sebagian
pengawalnya untuk menggali kuburan itu, dan memerintahkan sebagian yang lain
untuk mencari Danum Kaharingan Belom (air kehidupan) di Bukit Kamiting.
Menjelang sore, pengawal yang diutus ke
Bukit Kamiting telah kembali dengan membawa Danun Kaharingan Belom. Ambun
segera meneteskan air kehidupan itu ke tulang-tulang adiknya yang sudah
terpisah-pisah. Tidak lama kemudian, tulang-tulang itu menyusun diri. Daging
dan kulitnya pun kembali seperti semula. Akhirnya Rimbun hidup lagi. Keluarga
Ambun kini telah berkumpul kembali. Setelah itu, Ambun mengajak keluarganya
hidup bersama di istana Kerajaan Sang Sambaratih dengan penuh kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar