Dahulu kala, hidup dua orang sahabat. Mereka bersahabat
selama bertahun-tahun dan berbagi apa saja di antara mereka. Mereka bahkan lebih
dekat dari dua orang bersaudara.
Suatu saat, salah satu dari mereka sakit. Penyakitnya makin
parah dan akhirnya ia meninggal. Sahabatnya sangat sedih. Tak lama kemudian ia
juga jatuh sakit dan meninggal.
Beberapa waktu kemudian, kedua sahabat itu dilahirkan kembali dalam wujud seekor burung phoenix berkepala dua. Kedua kepala burung itu sama seperti kedua sahabat itu dulu. Mereka pergi bersama-sama, mencari makanan bersama.
Pada suatu hari seorang pemburu melihat burung itu. Pemburu itu sudah siap menembak burung itu, namun ketika ia melihat kedua kepala burung itu begitu saling menyayangi, ia tidak sampai hati membunuhnya. Akhirnya ia membiarkan burung itu pergi.
Pemburu menceritakan burung istimewa itu kepada
teman-temannya. Tersiarlah kabar ke mana-mana bahwa ada seekor burung phoenix
berkepala dua hidup di hutan. Burung phoenix adalah hewan yang jarang ada.
Apalagi yang berkepala dua!
Berita itu sampai juga ke telinga raja. Raja memerintahkan
agar burung itu ditangkap hidup-hidup. Akhirnya burung itu tertangkap dan
dibawa kepada raja.
Raja meletakkan burung itu dalam sebuah sangkar besar. Tiap
hari ia mengagumi keindahan burung itu.
Raja memberi makan salah satu kepala burung di sebelah
kanan. Burung itu menerima makanan dan memberikan sebagian kepada saudaranya.
Ketika raja memberikan makanan kepada kepala yang di kiri, kepala itu juga
membagi makanannya kepada kepala di kanan. Demikian seterusnya.
Raja memberikan makanan lagi kepada salah satu kepala, lalu
ketika kepala itu hendak membagi makanan kepada saudaranya, raja
menghalanginya. Kepala yang menerima makanan tidak menelan makanannya, tapi
justru membuangnya. Demikian juga dengan kepala satunya.
Raja menjadi marah. Ia merasa burung itu tidak mematuhi
perintahnya. Raja lalu memanggil penasihat dan menyuruhnya memisahkan kedua
kepala itu.
Penasihat tidak mau bagaimana melakukan tugas itu. Ia
berusaha mengulur waktu dengan minta raja megijinkannya membawa burung itu
pulang dan minta waktu selama sebulan. Raja setuju dan penasihat membawa burung
itu pulang. Raja berjanji memberikan setengah kerajaannya jika penasihat
berhasil menyelesaikan tugasnya
Selama berhari-hari penasihat mengamati burung itu dan tidak menemukan cara untuk memisahkan kedua kepala itu. Bagaimana caranya?
Pada suatu hari, penasihat melihat kedua kepala itu menghadap ke arah yang berlawanan. Itu terjadi beberapa kali dalam sehari. Penasihat mendapat akal.
Ketika kepala-kepala burung menghadap ke arah yang berbeda,
penasihat berbisik kepada kepala di sebelah kanan, “Tu... tu... tu... tu...
tu...” lalu ia pergi dan mengintip dari kejauhan.
Kepala burung yang kiri bertanya kepada saudaranya, “Apa
yang dikatakannya kepadamu?”
Saudaranya menjawab, “Bukan apa-apa, kok.”
Pada waktu lain penasihat membisikkan lagi “Tu... tu...
tu...tu ... tu” kepada kepala kanan. Kepala kiri bertanya lagi, dan mendapat
jawaban, “Bukan apa-apa. Sesuatu yang tak ada artinya.” Kepala kiri mulai
merasa tidak senang, tapi ia diam saja.
Begitu seterusnya, penasihat membisikkan “Tu... tu... tu...tu
... tu” kepada kepala kanan, kepala kiri bertanya dan kepala kanan menjawab,
“Bukan apa-apa,” atau “Tak ada artinya.”
Kepala kiri makin marah dan penasaran. Hingga akhirnya
ketika penasihat membisiki kepala kanan lagi, ia bertanya. “Apa sih yang ia
katakan tadi? Juga kemarin?"
Kepala kanan mengatakan, “Aku sudah bilang, ia mengatakan
sesuatu yang tak ada artinya.”
“Bisa saja kau bohong,” kata kepala kiri. Setelah
bertahun-tahun bersahabat, baru sekarang mereka saling curiga.
“Jadi kau tak percaya kepadaku?” Kepala kanan berteriak,
“Saudaramu sendiri?”
“Mengapa kau tidak mau mengatakannya kepadaku?”
“Baiklah, ini yang dia bisikkan selalu kepadaku ‘Tu... tu...
tu...tu ... tu.’”
“Kau pikir aku percaya?”
“Saudaraku, hanya itu yang dikatakannya.”
“Kalau hanya itu, mengapa ia datang berkali-kali kepadamu?
Dan hanya kepadamu? Pasti kau menyembunyikan sesuatu dariku.”
Kepala kanan menjadi sangat marah. “Aku menghormatimu lebih
dari saudara. Tapi kau tidak percaya kepadaku.”
Kepala kiri tak kalah panas. “Kau memang saudaraku, tapi
menurutku kau tidak dapat dipercaya."
Akhirnya mereka bertengkar. Makin lama makin sengit. Mereka
saling berteriak, gaduh sekali. Penasihat mengamati dari kejauhan.
Tak lama kemudian kedua kepala itu saling menyerang sambil
berteriak-teriak. Mereka saling mematuk dan mendorong. Penasihat bersiap-siap
untuk menghentikan perkelahian itu. Kalau burung itu terluka dan mati, ia akan
mendapat hukuman berat.
Perkelahian makin seru. Mereka saling mendorong sambil
berkata, “Pergi, kau!” dan “Aku tidak mau punya sahabat sepertimu.”
Tiba-tiba terdengar suara letusan keras, dan ajaib, burung
itu sudah menjadi dua ekor burung phoenix, masing-masing punya satu tubuh, satu
kepala, dua sayap, dua kaki dan seperti layaknya dua ekor burung. Mereka
saling menjauh dan membelakangi. Penasihat cepat-cepat memindahkan satu burung
ke sangkar yang lain.
Esok harinya, penasihat membawa kedua burung itu kepada
raja. Ia sangat senang dan puas. Tugasnya berhasil dilaksanakan dengan baik
walaupun ia harus malakukan tindakan tidak terpuji. Sekarang ia akan
minta hadiah yang dijanjikan raja, setengah kerajaan. Berkat kecerdikannya,
sebentar lagi ia akan menjadi raja.
Raja senang sekali. Ia mengambil kedua sangkar burung itu
dan menyuruh penasihat pergi.
“Maaf...Yang Mulia...?” kata penasihat. Ia harus meminta
hadiahnya sekarang juga.
“Ya, penasihat,” kata raja. “Kau boleh pulang dan
beristirahat.”
“Tapi Tuanku...,” kata penasihat gugup, “Mengenai perjanjian
kita...”
“Perjanjian apa?” kata raja sambil terus memandangi
burung-burung phoenix.
“Perjanjian tentang...” kalimat penasihat tidak pernah
selesai.
“Apakah aku pernah membuat perjanjian denganmu?” kata raja.
“Mengenai apa? Aku tidak ingat.”
“Begini saja,” lanjut raja. “Aku tahu kau lelah sekali.
Sekarang pulanglah. Pergilah berlibur.”
“Baik, tuanku.” Penasihat pergi dengan sangat kecewa.
Raja sangat senang dengan kedua burung phoenix itu.
Burung-burung itu sekarang tidak saling membagi makanan atau apa pun lagi,
mereka bahkan tidak saling berbicara. Persahabatan yang berlangsung begitu lama
hancur berantakan karena mereka membiarkan orang lain mengadu domba mereka.
Sementara, penasihat tidak mendapatkan apa yang pantas menjadi
hadiahnya. Raja tidak mengakui pernah menjanjikan setengah kerajaannya
kepada penasihat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar