Senin, 27 Oktober 2014

Bujang Katak (Kepulauan Bangka Belitung)






Pada jaman dahulu kala di sebuah dusun yang berada di Bangka Belitung hiduplah seorang nenek tua yang sangat miskin. Nenek tua itu bekerja dengan berladang pada ladang yang merupakan peninggalan orang tuanya. Nenek tua ini hidup sebatang kara dan saat orang orang sibuk bercocok tanam pada musim tanam si nenek yang tubuhnya juga sudah lemah lebih banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat sembari ia kadang kadang menggarap ladangnya, dalam istirahatnya ia berkhayal ingin punya seorang anak.

Ia berfikir jika memiliki seorang anak maka ia tidak akan selelah ini untuk menggarap ladangnya sendirian. Saat siang pun datang ia memilih pulang ke gubuk reotnya untuk benar benar beristirahat. Saat itu ia duduk duduk didepan gubuknya sembari matanya menerawang kembali memikirkan khayalannya yang juga disertai doa agar Tuhan mengabulkan pintanya untuk mempunyai seorang anak walaupun hanya berbentuk seperti katak.

Tiga hari kemudian nenek tua tersebut merasa ada yang aneh dalam perutnya ,seperti ada benda yang bergerak gerak dan ternyata Tuhan mengabulkan doanya karena nenek tua itu sedang mengandung. Terdengarlah kabar itu oleh penduduk kampung yang berfikiran bagaimana bisa nenek tua yang tanpa suami itu bisa mengandung, mereka berfikir nenek tua itu sudah melakukan hal hal yang dilarang alias tidak senonoh. Nenek tua itu selalu menjadi bahan pembicaraan penduduk dengan tuduhan yang tidak tidak.Tapi ia hanya bersabar dan pada suatu malam terdengar teriakan dari dalam gubuk reot nenek tua yang ternyata ingin melahirkan. Berdatanganlah para warga namun belum sempat mereka masuk ke gubuk reot sudah terdengar tangisan bayi yang merupakan bayi nenek tua renta itu. Sang bayi lahir dalam bentuk tubuh yang mirip katak lalu menjadi bahan ejekan warga yang mengatakan bahwa nenek tua itu sudah berhubungan dengan katak hingga bayinya mirip seperti katak. Namun perempuan tua itu menceritakan kisahnya kepada warga perihal kelahiran putranya hingga akhirnya para warga kembali kerumahnya masing masing.

 Walaupun putranya lahir dalam keadaan seperti katak tapi perempuan tua itu tetap bersyukur kepada Tuhan dan berjanji merawat dan menyayangi anaknya sepenuh hati. Hari hari terus berlalu tanpa terasa putranya semakin dewasa dan penduduk kampung memanggilnya bujang katak karena badannya yang mirip katak.Bujang katak dalam kesehariannya sangatlah rajin dan tidak pernah keluar rumah kecuali membantu ibunya berladang. Ibunya tidak pernah menceritakan tentang asal usulnya lahir namun suatu hari bujang katak ingin ibunya menceritakan tentang keadaan negerinya tersebut maka berceritalah ibunya .

Ibunya mengatakan  bahwa negerinya ini dipimpin seorang Raja yang mempunya 7 puteri yang cantik cantik. Mendengar hal tersebut bujang katak langsung berkhayal andai ia bisa mempersunting salah satu dari mereka untuk menjadi pendamping hidupnya. Akhirnya bujang katak pun memberanikan diri mengungkapkan keinginannya pada ibunya.Alangkah terkejutnya ibu bujang katak saat mendengar keinginanya,karena mustahil baginya untuk mendapatka puteri raja dengan kedaan tubuhnya  yang mirip katak. Tapi karena Bujang katak terus memohon maka sang ibu pun memberanikan diri untuk datang keistana Raja untuk menyampaikan niatnya.

Maka keesokan harinya datanglah sang ibu ke istana raja untuk menyampaikan niatnya. Sesampainya disana karena tak berani langsung bicara pada Raja tentang keinginanya maka ibunya berpantun

"Te...sekate menjadi gelang. Pe...Setempe nek madeh pesen Urang..."

Sang raja mengerti maksud perempuan tua tersebut lalu memanggil ke 7 puterinya yang cantik cantik. Namun alangkah sedihnya nasib nenek tua yang bukannya mendapatkan perlakuan sopan malah diludahi satu persatu oleh puteri puteri raja itu kecuali si bungsu yang tak tega melihat perlakuan kakak kakak nya. Melihat kejadian itu nenek tua pun pulang dan menceritakan hal itu pada puteranya bujang katak. Bujang katak saat mendengar hal tersebut merasa sedih dan iba pada ibunya tapi ia tetap punya harapan dalam hati karena ia yakin puteri bungsu mau menerima lamarannya karena puteri bungsu tidak melakukan hal hal yang dilakukan oleh puteri puteri yang lainnya. Maka datanglah bujang katak berserta ibunya kembali ke istana Raja.
   
Keesokan hari saat bujang katak dan ibunya kembali ke istana raja maka tertawalah raja dan para pengawalnya sembari mengejek bujang katak yang badannya mirip katak. Sembari kembali memanggilkan puteri puterinya dan hal yang sama dilakukan oleh puteri puteri raja yaitu meludahi bujang katak kecuali sang bungsu. Dalam hati sang bungsu ingin menerima pinangan bujang katak namun ia takut mengungkapkan itu pada ayahandanya. Sang Rajapun heran kenapa puteri bungsunya tidak meludahi bujang katak lalu mengerti apa maksud puterinya . Sang Raja akhirnya memberikan kesempatan pada bujang katak namun dengan mengajukan persyaratan yang tidak masuk akal dan sangat berat agar puterinya tidak bisa dipinang bujang katak yaitu dengan membuat jembatan emas dari gubuknya ke istana Raja dalam waktu tujuh hari tujuh malam. Setelah mendengar hal itu bujang katak pun menyetujuinya.

         Pulanglah bujang katak dan ibunya kembali ke gubuk. Ibunya bertanya pada puteranya bagaimana ia bisa mewujudkan syarat yang tak mungkin itu namun bujang katak berusaha meyakinkan bahwa  jika Tuhan berkehendak maka tak ada yang tak mungkin. Pergilah bujang katak kesuatu tempat yang sepi untuk bertapa.  Selama 6 hari 6 malam sudah ia lewati namun belum juga ada keajaiban. Di hari ketujuh keajaiban yang dinantikan itu datang, tubuhnya yang seperti katak tiba tiba menguning bersinar keemasan dan mengelupas. Bujang katak berubah menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Lalu kulitnya yang mengelupas itu pun berubah menjadi emas dan saat ia kumpulkan berubah menjadi batangan batangan emas. Sungguh keajaiban yang luar bisa dan bujang katak sangat bersyukur pada Yang Maha Kuasa.

Lalu malam itu juga ia mangajak ibunya itu menyusun batangan emas itu menjadi jembatan dari gubuknya hingga istana Raja. Saat pagi tiba sang Raja pun terkagum melihat jembatan yang dibuat bujang katak lalu memanggil bujang katak dan ibunya kembali ke istana. Ibu bujang katak beserta bujang katak kembali ke istana namun alangkah kagetnya Sang Raja melihat pemuda yang begitu tampan disebelah perempuan tua yang tak lain adalah ibu bujang katak.Sang raja lalu bertanya siapakah pemuda tampan itu dan pemuda itupun menjawab bahwa ia adalah bujang katak. Dipanggillah puteri bungsu raja dan puteri puteri lainya. Alangkah bahagianya putrei bungsu karena bujang katak adalah pilihan tepat untuknya dan langsung meminangnya. Kakak Kakak puteri bungsupun menyesal karena telah menolak dan meludahi bujang katak. Akhirnya pernikahan pun dilangsungkan dengan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam. Kakak Kakak puteri bungsupun akhirnya menyuruh para pengawal untuk menangkap katak katak yang ada disawah karena mereka berfikir bahwa bujang katak berasal dari katak katak biasa di sawah.

Mereka masing masing menyimpan satu katak dalam lemari berharap 7 hari kemudian berubah menjadi pria tampan. Namun alangkah terkejutnya mereka ketika membuka lemari bau busuk langsung menyebar seistana karena katak katak itu mati dan berulat. Keenam puteri tersebut berlari keluar kamar sambil muntah muntah karena bau busuk tersebut. Sang Raja yang mengetahui perbuatan ke enam puterinya akhirnya memberi hukuman untuk membersihkan kamar mereka masing masing. Sang Puteri bungsu hanya tersenyum melihat kelakuan kakak kakaknya .
   
Waktu berlalu dan Sang  Raja merasa semakin tua dan akhirnya menyerahkan Tahtanya kepada bujang Katak. Mereka hidup bahagia dalam istana. Bujang katak Ibunya Puteri bungsu dan keluarga Raja lainnya. Bujang katak menjadi Raja yang bijaksana dalam memimpin rakyatnya.

Jumat, 17 Oktober 2014

Dohong dan Tingang (Kalimantan Tengah)


         Pada zaman dahulu kala, di daerah Kalimantan Tengah ada sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kalang. Raja yang memerintah kerajaan tersebut mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Intan. Selain cantik, Putri Intan adalah seorang gadis yang berperangai baik, santun dalam berbicara, sopan dalam bergaul, dan hormat kepada yang tua. Tak heran, jika seluruh rakyat negeri itu sayang dan hormat kepadanya, kecuali seorang dayang istana. Setiap kali Putri Intan mendapat pujian dari rakyatnya, dayang yang satu ini selalu menunjukkan sikap tidak senang dan iri hati kepada sang Putri.
 
“Awas kau Putri! Suatu saat nanti aku akan menyingkirkanmu dari istana ini!” ucap dayang itu geram.
“Tapi, bagaimana caranya?” gumamnya bingung.
 
Setelah sekian lama berpikir, dayang itu pun menemukan sebuah cara untuk menyingkirkan Putri Intan dari istana.
 
“Hmmm... aku tahu caranya. Aku akan menyebarkan fitnah dengan menceritakan kepada semua orang bahwa Putri Intan selalu memperlakukanku secara semena-semana. Aku juga akan melaporkan kepada Raja bahwa ia selalu memeras rakyat,” pikirnya.
 
            Keesokan harinya, dayang itu melaksanakan tipu muslihatnya. Dalam waktu tidak terlalu lama, fitnah tersebut telah menyebar hingga ke seluruh penjuru negeri. Seluruh rakyat pun terhasut oleh cerita yang dibuat-buat oleh dayang tersebut, sehingga mereka berubah sikap terhadap Putri Intan. Setelah berhasil menghasut seluruh rakyat negeri, dayang itu pun mencoba untuk menghasut sang Raja. 

“Ampun, Baginda Raja! Perilaku putri Baginda benar-benar sudah keterlaluan. Ia telah membuat aib bagi keluarga istana. Sebagai seorang putri Raja, tidak sepantasnya ia berperilaku demikian. Untuk menjaga martabat kerajaan ini, sebaiknya Putri Intan dikeluarkan dari istana,” hasut dayang itu.
 
           Tipu muslihat dan hasutan dayang itu berhasil memengaruhi Raja, sehingga ia pun menjadi benci kepada putrinya sendiri. Putri Intan pun mulai bingung melihat sikap orang-orang di sekitarnya, termasuk ayahandanya, yang tiba-tiba membencinya. Suatu hari, Putri Intan bertanya kepada ibundanya.
 
“Bunda! Apa salah Ananda hingga orang-orang membenci Ananda?”
 
“Putriku, barangkali ada ucapan atau perilaku Nanda yang kurang baik terhadap orang lain yang tidak Nanda sadari. Mulai sekarang, Nanda harus lebih berhati-hati dalam berucap dan bertindak,” ujar permaisuri.
 
          Putri Intan semakin bingung, karena ia merasa bahwa selama ini tidak pernah menghina apalagi menganiaya orang lain. Oleh karena penasaran ingin mengetahui penyebabnya, ia pun bertanya kepada dayang-dayang dan inang pengasuhnya. Namun, tak satu pun di antara mereka yang mengetahuinya. Sementara itu, si dayang yang iri hati tersebut terus menghasut sang Raja, sehingga kebencian sang Raja semakin menjadi-jadi. Berkali-kali sang Putri menghadap untuk menanyakan kesalahannya, namun sang Raja tidak menghiraukannya. Ia lebih percaya pada ucapan dayangnya tersebut. Akhirnya, suatu ketika sang Raja pun mengusir putrinya dari istana.

“Dasar, anak tidak tahu diri! Kamu tidak pantas menjadi putri kerajaan ini. Pergi dari istana ini!” usir sang Raja.
 
Dengan perasaan sedih dan deraian air mata, Putri Intan pergi meninggalkan istana. Ia berjalan terhuyung-huyung sambil berdoa kepada Tuhan.
 
“Ya Tuhan Yang Maha Adil tunjukkanlah keadilan-Mu kepada hamba! Siapakah yang menyebarkan fitnah ini?” ucap Putri Intan.
 
            Sejak itu, Putri Intan menjadi rakyat biasa. Ia tinggal di pinggir hutan seorang diri karena semua warga telah membencinya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia mencari buah-buahan dan berburu binatang di hutan sekitarnya. Ia menjalani hidupnya dengan pasrah dan tidak dendam kepada orang yang telah memfitnahnya. Namun, ia yakin bahwa cepat atau lambat keadilan pasti akan datang. Suatu hari, Putri Intan sedang berburu binatang di hutan itu. Sudah setengah hari ia berburu namun belum juga mendapatkan binatang buruan. Ia pun memutuskan untuk berburu hingga ke tengah-tengah hutan. Setelah beberapa jauh berjalan, sampailah ia di tengah hutan yang sangat lebat. Di sekelilingnya terdapat banyak pohon besar yang daunnya sangat rindang. Suasana tempat itu agak gelap karena sinar matahari terlindung oleh lebatnya dedaunan. Saat mengamati keadaan di sekitarnya, tiba-tiba Putri Intan dikejutkan oleh suara tawa yang sangat menyeramkan.
 
“Hi... hi... hi... hi....!!!”
 
          Mendengar suara itu, jantung Putri Intan tiba-tiba berdebar kencang. Ia pun mundur beberapa langkah sambil mengelus-elus dadanya karena ketakutan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek berdiri tidak jauh di depannya sedang memegang sebuah tongkat. Wajah nenek itu sangat mengerikan dan rambutnya panjang acak-acakan. Rupanya nenek itu baru saja menyelesaikan pertapaannya.
 
“Hai, gadis cantik! Kamu siapa dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya nenek sihir itu.
 
“Aku Putri Intan. Aku diusir oleh ayahandaku dari istana,” jawab Putri Intan.
 
“Wah... kebetulan sekali aku bertemu dengan gadis yang terbuang. Aku ingin mencoba ilmu yang baru kuperoleh dari pertapaanku. Aku akan menyihirmu menjadi seeokor binatang,” kata nenek itu.
 
“Ampun, Nek! Jangan sihir aku!” pinta Putri Intan mengiba.
 
             Berkali-kali Putri Intan mengiba, namun nenek sihir itu tidak menghiraukannya. Nenek itu kemudian membaca mantra sambil mengacung-acungkan tongkatnya. Tak pelak lagi, Putri Intan pun terkena sihir nenek itu dan serta merta berubah menjadi seekor burung tingang.
 
“Sihir di tubuhmu akan hilang jika kamu bertemu dengan pemuda yang akan membawamu kembali ke istana,” kata nenek itu.
 
           Usai menyihir Putri Intan, nenek itu tiba-tiba menghilang entah ke mana, dan burung tingang jelmaan Putri Intan terbang ke sana kemari sambil berkicau merdu. Sejak itu, burung tingang hidup di tengah hutan tersebut. Ia terbang dari satu pohon ke pohon lainnya mencari makanan. Pada suatu hari, burung tingang itu hinggap di sebuah pohon yang berbuah lebat.  Betapa terkejutnya ia ketika akan meninggalkan pohon itu, kakinya terikat oleh perangkap sehingga tidak dapat bergerak. Berkali-kali ia meronta-ronta sambil mengepak-ngepakkan sayapnya hendak melepaskan diri, namun usahanya tetap gagal. Akhirnya, ia pun pasrah sambil berharap ada orang yang akan menolongnya. Tak berapa lama kemudian, burung tingang mendengar langkah seseorang yang mendekat. Ia pun cepat-cepat berkicau merdu sambil meronta-ronta untuk menarik perhatian orang yang lewat itu. Beberapa saat kemudian, muncullah seorang pemuda tampan bernama Dohong. Ia bermaksud memeriksa perangkap yang dipasangnya kemarin. Rupanya, perangkap yang menjerat kaki burung tingang itu adalah miliknya.
 
           Pemuda itu sangat gembira saat melihat seekor burung tingang meronta-ronta terkena perangkapnya. Tanpa berpikir panjang, ia pun segera naik ke atas pohon untuk mengambil burung tangkapannya. Setelah memasang kembali perangkapnya, pemuda itu mengamati burung itu secara seksama.
 
“Wah, cantik sekali burung ini! Bulunya indah dan halus, matanya bening berbinar, kicauannya pun sangat merdu. Selama hidupku, baru kali ini aku memperoleh burung secantik ini,” ucap Dohong dengan kagum.
 
               Dengan perasaan senang, Dohong segera membawa pulang burung itu untuk dipelihara. Setibanya di pondok, ia pun memasukkannya ke dalam sebuah sangkar yang terbuat dari rotan. Setiap hari ia merawat burung tingang itu dengan sangat teliti. Keesokan harinya, Dohong kembali ke tengah hutan untuk memeriksa perangkapnya. Namun, sial nasib Dohong hari itu, karena tak seekor pun burung yang diperolehnya. Ketika hari menjelang siang, ia pun memutuskan untuk kembali ke pondoknya, karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar. Betapa terkejutnya ketika Dohong sampai di pondoknya. Ia melihat makanan lezat telah tersaji dan siap untuk disantap. Makanan tersebut benar-benar membangkitkan seleranya, apalagi perutnya dalam keadaan lapar, sehingga Dohong tidak memikirkan lagi siapa orang yang telah menyiapkan makanan tersebut. Ia pun segera menyantap makanan tersebut dengan lahapnya.
 
                    Keesokan harinya, sepulang dari hutan, Dohong kembali mendapati makanan lezat telah tersaji di pondoknya. Kejadian aneh tersebut terulang hingga tiga hari berturut-turut. Dohong pun mulai penasaran ingin mengetahui siapa sebenarnya yang melakukan semua itu. Pada hari berikutnya, pemuda tampan itu berpura-pura hendak memeriksa perangkapnya. Sebelum hari menjelang siang, ia masuk ke pondoknya dengan langkah hati-hati. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat asap tebal keluar dari sangkar burungnya. Dalam sekejap, tiba-tiba seorang gadis cantik keluar dari asap itu. Ia sangat terpana melihat kencantikan gadis itu, dan kemudian menghampirinya.
 

“Hai, gadis cantik! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Dohong.
 
“Ampun, Tuan! Aku adalah Putri Intan dari Kerajaan Kalang. Keberadaanku di sini karena nasib buruk telah menimpaku. Ayahandaku mengusirku dari istana. Setelah itu, seorang nenek menyihirku menjadi burung tingang saat aku berada di tengah hutan,” jelas Putri Intan.
 
“Maaf, Tuan Putri! Mengapa Tuan Putri diusir dari istana?” tanya Dohong ingin tahu.
 
             Putri Intan pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya sampai ia berada di pondok pemuda itu. Setelah itu, ia meminta kepada Dohong agar mengantarnya kembali ke istana. Jika Dohong memenuhi permintaannya, maka sihir nenek itu akan hilang dengan sendirinya.
 
“Baiklah, Tuan Putri! Saya bersedia mengantar Tuan Putri ke istana,” kata Dohong.
 
           Keesokan harinya, keduanya pun berangkat ke istana. Selama dalam perjalanan, Putri Intan pun tidak pernah lagi berubah wujud menjadi burung tingang. Pengaruh sihir nenek itu benar-benar telah hilang.
Sesampainya di istana, Dohong pun menceritakan semua yang dialami Putri Intan kepada Raja Kalang dan permaisuri. Akhirnya, Raja Kalang pun mengerti bahwa putrinya difitnah oleh seorang dayang istana. Seketika itu pula, ia mengumpulkan seluruh dayang-dayangnya. Setelah menanyai mereka satu persatu, akhirnya ia menemukan dayang yang telah memfitnah putrinya. Raja Kalang sangat menyesal karena lebih percaya pada kata-kata dayang itu daripada kata-kata putrinya.

“Maafkan Ayah, Putriku! Ayah telah membuatmu menderita, karena mengusirmu dari istana,” ucap Raja Kalang.

         Setelah itu, Raja Kalang pun menghukum dayang itu dengan memasukkannya ke dalam penjara. Kemudian ia menikahkan Dohong dengan putrinya dan menobatkannya menjadi pewaris tahta Kerajaan Kalang. Dohong dan Putri Intan pun hidup berbahagia.

Kelingking Sakti (Kepulauan Riau)

           
           Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa di Kepulauan Riau, hiduplah sepasang suami-istri yang sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka menjaring ikan di sungai dan menanam ubi di ladang. Mereka mempunyai tiga orang anak, semuanya laki-laki. Anak pertama bernama Salimbo, yang kedua bernama Ngah, dan yang ketiga bernama Kelingking.

              Sejak bayi, si Bungsu sudah menampakkan keanehan. Tubuhnya kecil dan kerdil, sehingga ia diberi nama Kelingking. Keanehan lain yang ada pada diri Kelingking adalah ia menyusu dengan sangat kuat. Setiap kali menyusui Kelingking, ibunya merasa kesakitan. Karena tidak kuat menahan rasa sakit, akhirnya ibunya meninggal dunia saat Kelingking masih berumur lima bulan. Sejak saat itu, kedua abangnya itu membeci Kelingking. Mereka menganggap Kelingkinglah yang menyebabkan ibu mereka meninggal dunia. Sepeninggal ibu mereka, Kelingking dan kedua saudaranya kemudian hidup dalam asuhan ayahnya. Setiap hari mereka membantu ayahnya mencari ikan di sungai dan menanam ubi di ladang. Terkadang pula mereka mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar. Di antara ketiga bersaudara, Kelingkinglah yang paling rajin bekerja, sehingga ia menjadi anak kesayangan ayahnya. Melihat hal itu, bertambah bencilah kedua saudaranya kepada Kelingking. Karena merasa iri terhadap Kelingking, kedua saudaranya berniat jahat kepadanya.

               Pada suatu hari, Salimbo dan Ngah hendak melaksanakan niatnya. Mereka kemudian mengajak Kelingking mencari kayu di hutan tanpa sepengetahuan ayahnya. Mereka memang sengaja ingin mencelakakan Kelingking dengan membawanya ke dalam hutan di mana terdapat banyak binatang buas. Tanpa rasa curiga sedikit pun, dengan senang hati Kelingking menerima ajakan kedua saudaranya itu. Sesampai di hutan, mereka masing-masing sibuk mencari kayu. Karena tubuhnya kecil, Kelingking hanya mengumpulkan ranting-ranting kecil. Menjelang siang hari, mereka sudah merasa kelelahan. Pada saat mereka beristirahat di bawah sebatang pohon, tiba-tiba seekor kancil melintas tak jauh dari tempat mereka duduk. “Kelingking! Kejar kancil itu!” perintah Salimbo kepada Kelingking. “Jangan sampai lolos, Adikku!” tambah Ngah menyemangati. Kelingking pun mengejar kancil itu hingga jauh masuk ke dalam hutan. Pada saat itulah, mereka berdua menggunakan kesempatan meninggalkan Kelingking di dalam hutan sendirian.

Dengan tergopoh-gopoh, Salimbo dan Ngah pulang menemui ayahnya.

“Ayah, maafkan kami. Kami tidak dapat menjaga Kelingking. Dia diterkam harimau di tengah hutan,” kata Salimbo berbohong sambil berpura-pura menangis.

“Benar, Ayah. Kami sudah berusaha sekuat tenaga menolongnya. Tapi, kami tidak dapat menyelamatkannya. Harimau itu terlalu ganas,” sambung Ngah ikut berbohong.

“Benarkah yang kalian katakan itu?” tanya sang Ayah seakan tak percaya dengan berita itu.

“Benar, Ayah!” jawab Salimbo dan Ngah serentak.

               Mendengar jawaban yang meyakinkan itu, sang Ayah pun percaya begitu saja. Ia sangat bersedih kehilangan Kelingking yang sangat disayanginya itu. Sementara itu, Kelingking terus mengejar kancil itu hingga tertangkap. Ia senang sekali.

“Jika kancil ini aku bawa pulang, ayah dan kedua abangku pasti sangat senang,” gumam Kelingking sambil mengikat kaki kancil itu dengan akar kayu.

Baru saja selesai bergumam, tiba-tiba Kelingking dikejutkan oleh bunyi suara yang sedang berbicara kepadanya.

“Hai, Orang Muda! Tolong lepaskan aku. Aku adalah raja kancil di hutan ini. Jika kamu mau melepaskanku, kamu akan kuajari cara menangkap kancil,” bujuk sang Kancil.
Kelingking seakan tak percaya, jika kancil yang ditangkapnya itu bisa berbicara seperti manusia.

“Baiklah, Kancil! Aku akan melepaskanmu, tapi aku diajari cara menangkap kancil seperti yang kau janjikan,” kata Kelingking sambil melepaskan ikatan pada kaki-kaki kancil itu.

Kancil itu kemudian mengajari Kelingking cara menangkap dan menjebak kancil. Setelah menurunkan semua ilmunya kepada Kelingking, Kancil pun berpesan,
“Orang Muda! Dengan ilmu yang aku ajarkan, kamu dapat menangkap kancil sebanyak-banyaknya. Tapi, kamu hanya boleh menangkap kancil yang nakal-nakal saja.” Usai berpesan, kancil itu kemudian kembali ke tempat asalnya.

               Sementara itu, Kelingking mencoba kemampuan ilmunya menangkap kancil yang baru saja diterimanya itu. Dalam sekejap, Kelingking mampu menangkap dua ekor kancil. Kemudian diikatnya kedua kancil itu erat-erat, lalu ia bawa pulang ke rumah. Akhirnya, ia pun selamat sampai di rumah, tanpa ada gangguan binatang buas. Sesampai di depan pintu rumahnya, Kelingking berseru memanggil ayah dan kedua abangnya. 

“Ayah...! Abang... ! Aku pulang....!

Mendengar suara teriakan dari luar rumah, ayahnya segera membukakan pintu. Ayahnya sangat senang sekali, karena anak kesayangannya ternyata masih hidup.

“Ya, syukurlah anakku! Kamu selamat dari terkaman harimau,” kata ayahnya sambil memeluk Kelingking.

Sementara itu, kedua abangnya yang telah meninggalkannya di tengah hutan, terheran-heran melihat Kelingking.

“Bagaimana mungkin Kelingking bisa selamat dari binatang buas yang ada di dalam hutan itu?” tanya Salimbo dalam hati.

Demikian pula Ngah, dalam hatinya bertanya-tanya, “Bagaimana Kelingking bisa menangkap kancil dua ekor sekalian, padahal yang dikejarnya tadi hanya satu?” Kelingking kemudian memberikan kedua ekor kancil tersebut kepada kedua abangnya untuk dimasak dan kemudian disantap bersama-sama.

            Pada suatu hari, Salimbo dan Ngah kembali berniat jahat kepada Kelingking. Mereka mengajak Kelingking ke laut yang banyak dihuni ikan jerung. Dengan sebuah perahu kecil, berangkatlah mereka ke laut mencari ikan. Setibanya di tempat yang dikira-kira banyak ikan jerung, Salimbo dan Ngah pura-pura menebar jala untuk menangkap ikan. Mereka kemudian mengatakan jala itu tersangkut di batu karang, dan menyuruh Kelingking terjun ke laut untuk melepaskan jala mereka. Mereka berharap Kelingking dimakan ikan jerung yang ganas itu. Benar kata Salimbo dan Ngah. Begitu Kelingking terjun ke laut, ikan-ikan jerung yang ganas tersebut langsung menyerangnya. Pada saat Kelingking timbul-tenggelam bergulat dengan ikan jerung tersebut, Salimbo dan Ngah bergegas mengayuh perahunya pulang. Sesampainya di rumah, mereka kemudian menyampaikan berita kematian Kelingking kepada ayah mereka. Mendengar berita itu, ayah mereka sangat sedih. Pada malam hari, tengah sang Ayah meratapi nasib malang Kelingking, tiba-tiba Kelingking muncul di depan pintu,

“Ayah, Aku pulang!"

Mendengar suara Kelingking, ayahnya segera beranjak dari tempatnya lalu memeluk Kelingking dengan erat. 

“Kelingking, Anakku! Ayah mengira kamu sudah meninggal dilahap oleh ikan-ikan jerung itu!” kata sang Ayah kepada anaknya.

“Dengan ajaib, Kelingking berhasil mengalahkan ikan-ikan jerung yang ganas itu. Lihat, Ayah! Kelingking membawa ikan jerung besar untuk makan malam kita,” jelas Kelingking kepada ayahnya sambil menunjukkan dua ekor ikan jerung yang dijinjingnya.

               Kemudian kedua ikan jerung tersebut diserahkannya kepada abangnya untuk dimasak dan dimakan bersama. Waktu terus berlalu. Kini Kelingking sudah dewasa. Ia berniat pergi merantau untuk mengubah nasib dirinya dan keluarganya yang selama ini hidup dalam kemiskinan.

“Kini saatnya aku mengubah nasib keluargaku. Aku harus pergi merantau. Lagipula ayah tidak tinggal sendirian di rumah. Ada Abang Salimbo dan Abang Ngah yang menemaninya. Pasti ayah akan mengizinkanku,” kata Kelingking dalam hati memantapkan niatnya.

Pada suatu malam, Kelingking mengutarakan niatnya itu kepada ayahnya.

“Ayah, sekarang Kelingking sudah dewasa. Izinkanlah Kelingking pergi merantau. Kelingking ingin memperbaiki kehidupan keluarga kita,” ia meminta kepada ayahnya.

Meskipun berat hati, sang Ayah pun mengizinkan anak kesayangannya itu pergi merantau.

“Ayah mengerti perasaanmu, Anakku! Ayah merestui dan mendoakan semoga kamu dapat mencapai cita-citamu,” jawab ayahnya mengizinkan.

“Terima kasih, Ayah! Jika sudah berhasil di perantauan, Kelingking segera kembali menjemput Ayah, Abang Salimbo dan Abang Ngah,” kata Kelingking dengan perasaan gembira.

               Keesokan harinya, dengan berbekal tujuh buah ketupat, berangkatlah Kelingking merantau. Sudah berbulan-bulan Kelingking mengembara. Namun, ketupatnya masih utuh, tak ada satu pun yang dimakannya. Selama dalam pengembaraan, ia hanya makan buah dan daun-daunan yang ditemuinya di hutan. Suatu siang, sampailah Kelingking di hutan lebat. Kemudian Kelingking duduk beristirahat di bawah sebuah pohon besar. Karena kelelahan, ia pun tertidur. Dalam tidurnya, terdengar sebuah suara yang berseru kepadanya,

“Hai, Orang Muda! Jika kamu ingin menjadi menantu raja, ikatlah ketupatmu dengan akar tuba dan masukkanlah ke dalam sungai yang mengalir di hutan ini. Apabila air sungai itu sudah berbuih, berarti ikan besar di dalamnya sudah mati. Selamilah sungai itu dan ambil ikannya.

”Belum sempat berkata apa-apa, Kelingking pun terbangun dari tidurnya.

Tanpa berpikir panjang, Kelingking pun segera bangkit mencari akar tuba. Setelah mendapat beberapa akar tuba, ia pun menyusuri hutan itu untuk mencari sungai yang dimaksud dalam mimpinya.

“Ah, inilah sungai dalam mimpiku,” gumam Kelingking.

             Ia pun segera mengikat ketujuh ketupatnya dengan akar tuba dan memasukkannya ke dalam sungai. Tak berapa lama kemudian, air sungai pun berbuih dan diselaminya sungai itu. Setelah beberapa lama menyelam, Kelingking mendapatkan seekor ikan besar. Ikan itu kemudian dibakar dan dimakannya hingga hanya kepalanya yang tersisa. Setelah melaksanakan semua perintah dalam mimpinya, Kelingking mulai bingung. 

“Aku harus berbuat apa lagi? Semua perintah sudah aku laksanakan, tapi tidak ada tanda-tanda akan kedatangan seorang putri. Di sini tidak ada seorang pun selain aku,” gumam Kelingking dengan perasaan kesal.

              Merasa apa yang dilakukannya sia-sia, ia pun menendang kepala ikan itu hingga terbang melambung tinggi ke angkasa. Ia sudah tidak mempedulikan lagi di mana kepala ikan itu jatuh. Ia kemudian melanjutkan pengembaraannya tanpa tentu arah. Suatu hari, sampailah Kelingking di sebuah kampung. Seluruh penduduk kampung itu membicarakan tentang kepala seekor ikan yang jatuh secara tiba-tiba di depan istana. Ternyata kepala ikan yang dimaksud itu adalah kepala ikan yang ditendang oleh Kelingking beberapa hari yang lalu. Kepala ikan itu seakan-akan menempel di tanah, sehingga tak seorang pun yang dapat memindahkannya. Padahal kepala ikan yang besar itu mengganggu keindahan istana. Putri raja yang merasa terganggu pandangannya meminta kepada ayahnya agar kepala ikan itu disingkirkan dari depan istana.

“Ayah, kepala ikan yang di depan istana itu sangat mengganggu pemandangan. Dapatkah kepala ikan itu disingkirkan dari tempat itu?” pinta sang Putri kepada ayahnya.

                Raja kemudian mengerahkan seluruh panglima dan pengawal istana untuk memindahkan kepala ikan itu. Satu per satu panglima dan pengawal mencoba mengangkat kepala ikan itu secara bergantian. Namun, tidak seorang pun di antara mereka yang mampu menggerakkannya. Kemudian mereka beramai-ramai mengangkatnya, tapi usaha mereka tetap sia-sia. Jangankan kepala ikan itu bergeser, bergerak sedikit pun tidak. Melihat keadaan itu, Raja pun mengadakan sayembara,

“Wahai seluruh penduduk negeri, barangsiapa yang dapat memindahkan kepala ikan dari depan istana, jika laki-laki akan kunikahkan dengan putriku, dan jika perempuan akan kuangkat sebagai anak,” seru Raja kepada rakyatnya.

Sesaat sebelum sayembara itu dimulai, seluruh penduduk telah berkumpul di depan istana. Tidak ketinggalan pula Kelingking ikut dalam sayembara itu. Saat ia melihat kepala ikan itu, Kelingking tersentak kaget, 

“Sepertinya aku mengenal kepala ikan itu?” gumam Kelingking. 

                Ternyata, ia baru tersadar jika kepala ikan itulah yang pernah ia tendang beberapa hari yang lalu. Tak lama kemudian, sayembara pun dimulai. Para peserta sayembara maju satu per satu untuk memindahkan kepala ikan itu. Namun, tidak seorang pun yang mampu menggerakkannya. Tibalah giliran Kelingking. Melihat badannya yang kecil, orang-orang mencemooh dan menertawakkannya. Tetapi Kelingking tidak peduli. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, dikelilinginya kepala ikan itu tujuh kali. Kemudian dicungkilnya kepala ikan itu dengan jari kelingkingnya. Sungguh ajaib. Seakan tidak mengeluarkan tenaga, dengan mudahnya Kelingking mengangkat kepala ikan itu dan menguburnya di belakang istana. Maka, Kelingkinglah yang dinyatakan sebagai pemenang dalam sayembara itu. Ia berhak untuk menikah dengan putri raja sebagaimana janji raja.

“Orang Muda! Meskipun tubuhmu kecil, tapi kamu mampu memindahkan kepala ikan itu. Sesuai dengan janjiku, pekan ini juga kamu akan kunikahkan dengan putriku,” kata sang Raja dengan kagum.

       Sepekan kemudian, pesta pernikahan Kelingking dengan putri raja dilaksanakan dengan ramainya. Dalam pesta tersebut, ditampilkan berbagai macam nyanyian dan tari-tarian istana. Seluruh keluarga istana dan penduduk negeri turut berbahagia atas pernikahan tersebut. Beberapa hari setelah menikah, Kelingking menjemput ayah dan kedua abangnya untuk tinggal bersamanya di istana. Kelingking pun hidup berbahagia bersama sang Putri dan keluarganya.

Rabu, 15 Oktober 2014

Ambun dan Rimbun (Kalimantan Tengah)





Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, hiduplah seorang janda bersama dua orang anak laki-lakinya yang sudah remaja. Anak pertamanya bernama Ambun, sedangkan anak keduanya bernama Rimbun. Banyak orang di kampung itu mengira mereka saudara kembar, karena wajah dan perawakan keduanya mirip sekali. Namun sebenarnya mereka bukanlah saudara kembar, karena umur keduanya selisih satu tahun.

Ambun dan Rimbun adalah anak yang rajin dan hormat kepada orang tua. Setiap hari mereka membantu ibunya mencari kayu bakar ke hutan dan menjualnya ke pasar. Pada suatu sore, Rimbun melihat abangnya termenung seorang diri di beranda rumah mereka.
 
“Bang! Apa yang sedang Abang pikirkan?” tanya Rimbun.

“Abang sedang memikirkan nasib keluarga kita. Kalau setiap hari hanya mencari kayu bakar, kehidupan kita tidak akan pernah membaik,” keluh Ambun.

“Lalu, apa rencana Abang?” tanya Rimbun.

“Abang akan pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga kita. Banyak orang di kampung ini kehidupannya menjadi lebih baik sepulangnya dari merantau,” jelas Ambun.

“Wah, kalau begitu, Adik akan ikut Abang,” kata Rimbun.

“Jangan, Dik! Kamu di sini saja menemani ibu. Kalau Adik ikut, kasihan ibu ditinggal sendiri,” cegah Ambun.

“Tidak, Bang! Adik harus ikut Abang,” tegas Rimbun bersikukuh ingin pergi merantau bersama Abangnya.

“Baiklah, kalau begitu,” kata Rimbun mengizinkan adiknya ikut serta.

Malam harinya, kedua kakak-beradik itu menyampaikan niat mereka kepada sang Ibu. Mendengar hal itu, sang Ibu hanya terdiam. Ia bingung bagaimana menyikapi keinginan kedua putranya. Menurutnya, apa yang dikatakan kedua putranya itu memang benar, bahwa merantau dapat memperbaiki kehidupan keluarga mereka, tetapi di satu sisi, umur mereka masih sangat muda.

“Bagaimana, Bu? Apakah ibu mengizinkan kami pergi?” Ambun kembali bertanya.

“Sebenarnya Ibu merasa berat mengizinkan kalian pergi. Ibu khawatir terhadap keselamatan kalian berdua di rantau. Kalian masih terlalu muda untuk merantau,” jawab sang Ibu dengan berat hati.

“Iya, Bu! Tapi, kami berdua bisa jaga diri dan saling menjaga,” sahut Rimbun.

“Baiklah, kalau memang kalian bersikukuh akan pergi, Ibu mengizinkan. Tapi Ibu berpesan, kalian harus menghormati orang lain dan jangan berpisah. Kalaupun harus berpisah, hendaknya kalian saling mengabari,” ujar sang Ibu.

“Terima kasih, Bu!” ucap keduanya serentak dengan perasaan gembira.

Ambun dan Rimbun segera menyiapkan segala keperluan mereka, termasuk celana dan baju mereka yang terbuat dari kulit kayu. Sementara sang Ibu sibuk menyiapkan makanan untuk bekal mereka di jalan. Ia memasak empat belas buah ketupat dan empat belas butir telur ayam untuk mereka berdua. Masing-masing mendapat tujuh buah ketupat dan tujuh biji telur ayam. Setelah itu, ia mengambil beberapa butir beras dan mencelupkannya ke dalam air, lalu mengoleskannya di ubun-ubun mereka seraya berdoa:

“Semoga Ranying Hatalla Langit (semoga Tuhan  melidungi kalian berdua).”

Saat tengah malam, perempuan paruh baya itu membuka sebuah peti besi kecil berisi dua bilah dohong (keris pusaka) yang bentuk dan ukurannya sama. Yang satu berlilitkan kain merah dan yang satunya lagi berlilitkan kain kuning. Yang berlilitkan kain merah diserahkan kepada Ambun, sedangkan yang berlilitkan kain kuning diberikan kepada Rimbun.

“Senjata pusaka ini adalah peninggalan almarhum ayah kalian. Tapi, ingat! Senjata ini hanya boleh kalian gunakan jika dalam keadaan mendesak,” pesan sang Ibu seraya mencium kening kedua putra tercintanya.
“Baik, Bu! Kami akan selalu mengingat pesan Ibu,” kata Ambun dan Rimbun serentak.
Keesokan harinya, Ambun dan Rimbun bersiap-siap untuk berangkat dan berpamitan kepada sang Ibu tercinta. Suasana haru pun menyelimuti hati sang Ibu dan kedua putranya itu. Air mata sang Ibu tidak dapat dibendung lagi. Demikian pula kedua orang kakak-beradik itu. Mereka tidak kuat menahan rasa haru.

“Berangkatlah, Nak! Nanti kalian kemalaman di jalan. Jika sudah berhasil, cepatlah kembali menemani Ibu di sini!” pesan sang Ibu.

“Baik, Bu! Kami akan segera kembali jika sudah berhasil,” jawab keduanya serentak.

Usai mencium tangan sang Ibu, keduanya pun pergi meninggalkan kampung halaman mereka. Sang Ibu berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan mengiringi kepergian kedua putranya. Setelah keduanya menghilang di tikungan jalan kampung, barulah ia masuk ke dalam rumah. Ambun dan Rimbun berjalan mendaki gunung, menuruni lembah, dan menyeberangi sungai. Mereka berjalan mengikuti arah matahari terbenam. Saat malam tiba, mereka berhenti untuk beristirahat. Ketupat dan telur pemberian sang Ibu mereka makan sedikit-sedikit. Ketika matahari mulai menampakkan wajahnya di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tidak terasa, sudah berhari-hari mereka berjalan.
 
Ketika memasuki hari ketujuh, Rimbun mendadak jatuh sakit, karena kelelahan berjalan jauh. Melihat kondisi adiknya itu, Ambun menjadi panik. Ia pun mencoba mengobati adiknya dengan memberinya minuman dari berbagai macam air akar-akaran. Namun, tidak satu pun yang mampu menyembuhkannya. Tidak terasa air matanya pun bercucuran membasahi pipinya. Ia sangat menyesal dan merasa bersalah karena telah mengizinkan adiknya ikut serta. Beberapa saat kemudian, Rimbun akhirnya meninggal dunia.

“Rimbun Adikku! Jangan tinggalkan Abang!” teriak Ambun memecah kesunyian di tengah hutan.

Namun apa hendak diperbuat, adik tercintanya benar-benar telah menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan diselimuti perasaan sedih, Ambun segera menggali lubang untuk kuburan adiknya. Setelah menguburkan jazad adiknya, Ambun mencabut dohong adiknya. Mata dohong itu ditancapkan di bagian kepala, sedangkan warangkanya ditancapkan di bagian kaki kuburan itu. Sementara kain berwarna kuning pembungkus dohong itu diikatkan pada nisannya. Setelah itu, Ambun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri hutan lebat. Saat hari menjelang siang, perutnya terasa lapar. Ia pun membuka bungkusan makanannya di bawah sebuah pohon besar dan tinggi. Setelah bungkusan itu terbuka, barulah ia menyadari ternyata bekalnya sudah habis. Hatinya pun mulai cemas. Ia lalu memanjat pohon besar dan tinggi tempatnya berteduh itu. Sesampainya di atas, ia melihat kepulan asap tidak jauh dari tempatnya berada.
 
“Wah, pasti ada orang di sana,” pikirnya dengan perasaan gembira.

Tanpa berpikir panjang, ia segera turun dari atas pohon lalu berjalan menuju ke arah kepulan asap. Setelah beberapa lama berjalan, terlihatlah sebuah rumah di tengah hutan. Saat menghampiri rumah itu, ia melihat seorang nenek sedang mengumpulkan kayu bakar di samping rumahnya. Agar nenek itu tidak terkejut, ia pun mendehem.

“Hemm, sedang apa, Nek?” tanya Ambun.

“Mengumpulkan kayu bakar,” jawab nenek itu.

“Siapa engkau ini anak muda? Kenapa bisa sampai ke tempat ini?” nenek itu balik bertanya.

“Saya Ambun, Nek,” jawab Ambun, lalu ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga sampai di tempat itu.

“Nenek berduka cita atas meninggalnya adikmu,” kata nenek itu dengan perasaan haru.

Oleh karena merasa kasihan, perempuan tua itu mengizinkan Ambun untuk tinggal bersamanya. Setiap hari Ambun membantunya untuk mencari kayu bakar. Si Nenek pun sangat menyayangi Ambun seperti cucunya sendiri. Pada suatu hari, sambil mengumpulkan kayu bakar, nenek itu bercerita kepada Ambun bahwa sebenarnya ia adalah bagian dari keluarga Kerajaan Sang Sambaratih. Ia diusir karena pernikahannya dengan almarhum suaminya yang berasal dari rakyat biasa. Meskipun dikucilkan dari istana, nenek malang itu masih mendapat perhatian dari sebagian keluarga istana. Hampir setiap minggu ada pengawal istana yang mengantarkan makanan untuknya.
 
Suatu hari, datanglah dua orang utusan dari istana Sang Sambaratih membawa makanan untuk si Nenek. Sebelum kembali ke istana, kedua utusan tersebut memberitahukan kepadanya bahwa raja akan mengadakan sayembara memetik bunga melati. Barangsiapa yang dapat melompat dari halaman rumah istana sampai ke atap istana untuk mengambil bunga melati, dan menyerahkannya kepada putri raja, maka dia akan dijadikan menantu raja. Akan tetapi jika gagal, maka dia akan mendapat hukuman gantung. Si Ambun yang mendengar kabar itu, hampir semalaman tidak dapat memejamkam matanya. Ia ingin sekali mengikuti sayembara itu. Keesokan harinya, Ambun menemui si Nenek.
 
“Nek, bolehkah Ambun mengikuti sayembara itu?” tanya Ambun.

“Oh jangan, Cucuku! Kamu akan dihukum gantung jika gagal memetik bunga melati itu,” cegah si Nenek.

“Nenek tidak usah khawatir. Ambun pasti dapat mengatasinya,” kata si Ambun seraya memperlihatkan senjata dohongnya.

“Benda apa ini, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.

“Senjata pusaka peninggalan ayahku, Nek. Senjata ini dapat menolong jika diperlukan,” jelas Ambun.

Si Nenek pun yakin dan percaya dengan kata-kata Ambun, dan  mengizinkannya untuk mengikuti sayembara tersebut. Keesokan harinya, Ambun sudah bersiap-siap berangkat menuju istana untuk mengikuti sayembara tersebut.

“Maaf, Nek! Ambun ada satu permintaan,” kata Ambun.

“Apakah itu, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.

“Bersediakah Nenek menyaksikan sayembara itu. Jika seandainya Ambun gagal, Nenek dapat menyaksikan Ambun menjalani hukuman gantung, dan saat itu adalah pertemuan terkahir kita,” bujuk Ambun.

Oleh karena sayang kepada Ambun, nenek itu pun memenuhi keinginan Ambun. Maka berangkatlah mereka berdua menuju istana. Selama dalam perjalanan, si Nenek senantiasa diselimuti perasaan cemas. Sementara si Ambun meminta kepada si Nenek untuk mendoakannya agar dapat meraih kemenangan. Setibanya di halaman istana, penonton sudah penuh sesak dan para peserta sudah bersiap-siap mengikuti sayembara. Peserta sayembara tersebut terdiri dari delapan orang, yaitu tujuh pangeran dari kerajaan bawahan Kerajaan Sang Sambaratih, dan si Ambun sendiri. Satu per satu pangeran tersebut mengeluarkan kesaktiannya, namun tak seorang pun yang berhasil melompat ke atap istana dan memetik bunga melati. Kini giliran Ambun yang akan memperlihatkan kesaktiannya. Ketika Ambun memasuki arena, para penonton bertepuk tangan disertai dengan suara ejekan. Mereka meragukan kemampuan Ambun. Jangankan Ambun yang hanya orang kampung, para pangeran saja tidak satu pun yang berhasil melalui ujian itu. Namun dengan penuh percaya diri, Ambun tetap tenang dan berkonsentrasi penuh. Saat mengambil ancang-ancang, dengan suara nyaring Ambun berteriak memanggil ayahnya sambil mencabut dohong pusaka yang terselip dipinggangnya.

 
Dengan secepat kilat, Ambun melejit ke atas atap memetik bunga melati itu dan menyerahkannya kepada tuan putri yang duduk di samping raja. Seketika itu pula suara tepuk tangan dan teriakan penonton bergemuruh bagaikan membelah bumi. Suara teriakan penonton bukan lagi suara ejekan, melainkan suara kekaguman melihat kesaktian Ambun. Raja yang menyaksikan peristiwa itu langsung berdiri sambil bertepuk tangan dengan penuh kekaguman.

Sementara ketujuh pangeran tersebut merasa tidak puas. Mereka pun menyatakan perang kepada raja Sang Sambaratih. Namun atas bantuan Ambun dengan senjata dohongnya, ketujuh pangeran tersebut dapat dikalahkan. Akhirnya, Ambun dinikahkan dengan putri raja. Pesta pernikahannya dilangsungkan dengan meriah selama tujuh hari tujuh malam. Seminggu setelah pernikahan mereka, raja Sang Sambaratih menyerahkan kekuasaannya kepada Ambun, karena sudah tua. Sejak dinobatkan menjadi raja, Ambun berusaha mencari ibunya. Pada suatu hari, Ambun bersama beberapa orang pengawalnya menyusuri jalan yang pernah dilaluinya ketika ia berangkat merantau. Setelah tujuh hari tujuh malam berjalan, ia pun menemukan ibunya. Alangkah bahagianya sang Ibu saat melihat anaknya kembali dan berhasil menjadi raja. Namun, di satu sisi, sang Ibu tetap bersedih karena kehilangan Rimbun anak bungsunya.
 
Oleh karena tidak ingin melihat ibunya bersedih, Ambun bersama ibu dan para pengawalnya pergi mencari kuburan Rimbun. Setelah menemukan kuburan Rimbun, Ambun segera memerintahkan sebagian pengawalnya untuk menggali kuburan itu, dan memerintahkan sebagian yang lain untuk mencari Danum Kaharingan Belom (air kehidupan) di Bukit Kamiting.

Menjelang sore, pengawal yang diutus ke Bukit Kamiting telah kembali dengan membawa Danun Kaharingan Belom. Ambun segera meneteskan air kehidupan itu ke tulang-tulang adiknya yang sudah terpisah-pisah. Tidak lama kemudian, tulang-tulang itu menyusun diri. Daging dan kulitnya pun kembali seperti semula. Akhirnya Rimbun hidup lagi. Keluarga Ambun kini telah berkumpul kembali. Setelah itu, Ambun mengajak keluarganya hidup bersama di istana Kerajaan Sang Sambaratih dengan penuh kebahagiaan.