Kamis, 27 Desember 2012

Gadis Gembala dan Penyapu cerobong (Hans Christian Anderson)

Sebuah lemari pajangan berdiri di sudut ruang tamu. Lemari ini terbuat dari kayu ek. Usianya sudah sangat tua, sehingga warnanya telah menghitam. Dari atas ke bawah,dipenuhi ukiran bunga mawar, tuli, dan dedaunan. Dikanan-kirinya terdapat ukiran 2 kepala rusa dengan tanduknya yang bercabang-cabang. Tepat ditengahnya, terdapat sebuah ukiran laki-laki aneh yang berkaki kambing, mulutnya menyeringai, kepalanya bertanduk dan berjenggot sangat panjang. Anak-anak pemilik rumah menjuluki lelaki aneh itu dengan nama Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing.Gelarnya sangat panjang dan susah untuk diingat. Teman-temannya yang terbuat dari batu maupun kayu, tak ada yang memiliki gelar sekeren itu. Dia berdiri tepat di tengah-tengah lemari dan matanya selalu menatap ke arah meja dibawah cermin. Sebab, di atas meja tersebut berdiri sebuah boneka gembala dari porselen yang sangat cantik, gaunnya mengembang dengan bunga mawar yang tersemat di dadanya, sepatu dan topinya bersepuh emas, tangannya memegang sebuah tongkat gembala. Di sebelah patung gembala tersebut, berdiri sebuah patung penyapu cerobong yang juga terbuat dari porselen, patung pembersih cerobong ini bersih dan rapi, sebetulnya ia pantas untuk menjadi pangeran, walaupun seluruh tubuhnya hitam legam, wajahnya segar dan kemerahan. Mungkin pembuatnya keliru karena seharusnya wajah penyapu cerobong juga hitam, penyapu cerobong ini memiliki sebuah tangga kecil porselen di punggungnya. Dari dulu, ia dan gadis gembala berdiri berdekatan. Akhirnya mereka jatuh cinta dan mengucapkan janji setia. Mereka adalah pasangan yang sangat serasi, keduanya masih muda juga sama-sama terbuatdari porselen, juga sama-sama mungil dan rapuh.

DSi dekat mereka berdiri sebuah patung lelaki cina tua yang besarnya 3 kali lipat dari mereka. Patung ini memiliki kepala yang dapat diangguk-anggukkan, patung ini mengaku behwa dia kakek si gadis gembala. Meskipun tak dapat membuktikannya, dia selalu bersikeras berkata bahwa ia adalah kakek si gadis gembala.Karena itu, saat Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing melamar gadis gembala, dia mengangguk setuju.

Kemudian patung tua itu berkata pada gadis gembala bahwa gadis gembala akan menjadi istri dari Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing. Namun gadis gembala menolak sebab Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing telah memiliki 11 istri dari porselen. Lalu patung tua itu berkata bahwa gadis gembala harus menikah dengan Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing pada malam itu, dan mengangguk lalu tertidur.

Gadis gembala itu menangis, lalu menoleh kepada tunangannya, penyapu cerobong. Gadis gembala itupun langsung mengajak penyapu cerobong berkelana ke dunia luas. Penyapu cerobong itu setuju pada usul tunangannya. Namun, gadis gembala menjadi bingung sebab mana mungkin ia dan penyapu cerobong dapat turun dari meja tanpa cedera.

Dengan segera penyapu cerobong memberi contoh bagaimana menapakkan kaki pada ukiran sudut meja, lalu pada ukiran dedaunan yang melingkar sepanjang kaki meja, Dia juga membantunya dengan tangga kecilnya. Akhirnya mereka sampai di lantai. Tapi ketika menoleh melihat ke arah lemari pajangan, mereka melihat semuanya bergerak. Kepala menjulurkan lehernya sehingga tanduknya bertambah tinggi, dan Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing meloncat-loncat dan memberi tahu patung tua bahwa mereka lari. Gadis gembala dan penyapu cerobong takut bukan main. Mereka meloncat ke dalam sebuah laci terbuka di bawah ambang jendela.

Di dalam laci tersebut terdapat kartu-kartu dan boneka-boneka. Mereka sedang bermain sandiwara yang mengisahkan dua orang yang saling cinta tapi tak dapat menikah. Gadis gembala itu terharu dan menangis karena kisah itu seperti kisahnya sendiri.

Karena tak tahan lagi maka gadis gembala mengajak penyapu cerobong pergi. Ketika telah sampai di lantai, mereka melihat ke arah meja, mereka melihat patung tua itu sudah bangun. Tubuhnya bergoyang-goyang karena marah. Karena mengetahui kakeknya mengejar mereka, gadis gembala jatuh terduduk dan terisak-isak.

Penyapu cerobong itu kemuadian menenangkan gadis gembala. Lalu mengajak gadis gembala bersembunyi di balik vas bunga besar di sudut ruangan. Namun gadis gembala itu menolak karena vas bunga besar itu adalah tunangan kakeknya. Maka gadis gembala itu memutuskan untuk berkelana di dunia luas. Namun penyapu cerobong berusaha mengingatkan gadis gembala bahwa jika sudah keluar, mereka tidak akan dapat ,kembali lagi karena dunia ini sangatlah luas. Namun gadis gembala itu sudah yakin akan keputusannya.

Lalu penyapu cerobong itu melihat kearah gadis gembala. Dilihatnya gadis itu memang sudah mantap, jadi ia Mengajak gadis gembala keluar melalui cerobong asap. Dibimbingnya gadis itu keluar melalui Lubang perapian. Gadis gtembala itupun mengeluh karena lubang cerobong itu sangat gelap namun, ia tetap masuk kedalam lubang perapian itu.

Dari dalam lubang perapian itu, penyapu cerobong menunjukkan sebuah bintang yang berkilauan di atas langit. Sinarnya masuk ke dalam cerobong asap, seolah menerangi jalan mereka. Mereka merambat naik pelan-pelan. pipa itu licin dan terasa seperti tak ada habisnya. Penyapu cerobong itu membantu gadisnya dengan hati-hati menunjukkan tempat-tempat dimana gadis itu dapat menapakkan kaki porselennya yang mungil. Akhirnya mereka tiba di tepi pipa cerobong dan beristirahat di sana.

Di langit, bintang-bintang bertaburan. Di bawah mereka atap-atap rumah. DAri tempat-tempat tinggi itu mereka bisa melihat jauh sekali. Gadis gembala itu tak menyangka bahwa dunia sangat luas. Dia menyandarkan kepalanya pada bahu penyapu cerobong dan menangis tersedu-sedu karena takut.

Gadis gembala pun membujuk penyapu cerobong agar dapat mengantarnya kembali ke meja kecil di bawah cermin. Penyapu cerobong membujuknya, mengingatkannya pada kakeknya dan Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing. Tapi si gadis menangis sedih sehingga akhirnya penyapu cerobong menyerah.

Dengan susah payah, mereka merambat menuruni pipa cerobong dan sampai ke perapian yang gelap. Mereka bersembunyi di belakang pintu sebentar dan mengintip ke dalam. Astaga, ternyata patung lelaki Cina tua itu terbaring di lantai. Ketika mengejar mereka, patung itu Meloncat dari meja. Lalu jatuh dan pecah menjadi 3. Kepalanya menggelinding ke sudut. Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing masih berdiri ditempatnya dan memikirkan apa yang terjadi.

Gadis gembala itu merasa karena salahnyalah kakeknya pecah. Dan penyapu cerobong itu menghiburnya dengan cara memberi tahu cara membetulkan kakeknya. Lalu, mereka naik ke atas meja dan berdiri lagi di tempat semula.

Akhirnya, Patung tua itu dibetulkan oleh pemilik rumah itu. Dia menjadi utuh kembali namun tak dapat menganggukkan kepalanya lagi. Panglima Tertinggi Mayor Jenderal Kopral Sersan Kaki Kambing bersyukur karena patung tua itu utuh kembali dan dapat merestui pernikahannya dengan gadis gembala. Namun patung tua itu diam saja. Akhirnya, patung tua itu membiarkan gadis gembala dan penyapu cerobong menikah dan saling mencintai hingga mereka hancur berkeping-keping.

Tujuh Gadis yang Cemburu (Afrika)

Alkisah ada seorang gadis yang sangat cantik di desa Ibibio, Afrika, bernama Akim yang artinya musim semi yang cantik. Kecantikannya membuat iri gadis-gadis lain yang mengenalnya. Terlebih lagi Akim juga memiliki bentuk tubuh yang semampai, dan juga memiliki pembawaan diri yang sangat luwes, yang membuat setiap pria yang melihatnya akan lupa diri. Kedua orangtuanya sangat menyayanginya, bahkan terlalu melindunginya. Mereka bahkan melarang anak satu-satunya ini bergaul dengan gadis-gadis lainnya. Untunglah Akim gadis yang penurut. Meskipun ia sangat ingin pergi bermain bersama gadis-gadis lain sebayanya, namun ia tetap dengan rajin dan senang hati membantu pekerjaan orang tuanya.

Suatu hari saat ia sedang mengambil air di mata air, ia berjumpa dengan 7 orang gadis sebayanya yang hendak pergi menonton pertunjukan di desa sebelah.
“Hai Akim, ikutlah bersama kami. Kita akan bersenang-senang dan berkumpul dengan anak muda lainnya di desa sebelah,” kata salah seorang dari mereka.
“Oh, aku ingin sekali ikut bersama kalian. Tapi maafkan aku! Aku tidak bisa karena masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan,” kata Akim sambil memperlihatkan tempayan-tempayan kosong yang harus diisinya.

Ketujuh gadis itu sebenarnya merasa iri dengan kecantikan Akim. Mereka sering berkumpul hanya untuk menceritakan kebencian mereka kepada Akim. Peristiwa kemarin semakin menambah ketidaksukaan mereka. Mereka mencari ide untuk memberi pelajaran kepada Akim. Akhirnya mereka sepakat untuk datang ke rumah Akim setiap hari dan membantunya bekerja, dengan demikian Akim akan menganggap mereka sahabatnya.

Esoknya mereka memulai rencana mereka. Akim tentu terkejut tapi juga senang dengan kedatangan mereka. Pekerjaannya menjadi cepat selesai dan ia bisa berkumpul dengan teman sebayanya. Tapi orang tua Akim yang tidak percaya dengan ketulusan mereka, tetap melarang Akim bergaul dengan mereka.

Akhir tahun pun tiba. Seperti biasa di akhir tahun, selalu diadakan pesta besar untuk menyambut tahun baru. Kedua orang tua Akim pun turut diundang untuk datang ke pesta yang diadakan di desa yang jauhnya dua hari berjalan kaki. Akim ingin sekali ikut, tapi orang tuanya memberinya banyak sekali pekerjaan supaya ia tidak bisa datang.

Pada hari perayaan, ketujuh gadis itu datang ke rumah Akim untuk mengajaknya pergi ke pesta.
“Sayang sekali aku tidak bisa ikut,” kata Akim sedih. “Lihatlah! Aku harus mengisi semua tempayan ini, membersihkan dinding dan mengepel lantai. Setelah itu aku harus membersihkan semua ranting di halaman dan membereskan rumah. Jadi aku tidak akan sempat pergi ke pesta.”

Ketujuh gadis itu segera mengambil alih pekerjaan Akim dan dalam beberapa saat saja semuanya beres.
“Nah sekarang kau bisa ikut dengan kami,” kata mereka.
Maka Akim pun dengan senang hati pergi dengan mereka.

Sekitar setengah perjalanan menuju desa tempat diselenggarakannya pesta, ada sebuah sungai kecil yang harus disebrangi dengan menggunakan rakit. Dan di sungai itu tinggallah dewa sungai yang sangat berkuasa dan kejam. Siapapun yang menyebrangi sungai itu dua kali atau bolak-balik, maka saat penyebrangan keduanya ia harus melemparkan sesajen berupa makanan untuk sang dewa sungai. Jika tidak, maka dewa Sungai akan menariknya ke dalam air dan menawannya di dalam istananya di dasar sungai. Ketujuh gadis itu tentu saja tahu betul karena mereka sering bepergian ke banyak tempat. Tetapi Akim yang selalu tinggal di rumah, tidak tahu menahu mengenai hal itu.

Mereka menyebrangi sungai tanpa kesulitan. Seekor burung kecil yang terpesona dengan kecantikan Akim, berkicau riang di atas sebuah ranting, membuat ketujuh gadis itu bertambah berang. Mereka meneruskan perjalanan, dan setelah perjalanan yang melelahkan, tibalah mereka di tempat pesta berlangsung.

Meskipun ketujuh gadis itu memakai baju dan perhiasan terbaiknya, namun Akimlah yang menjadi pusat perhatian di pesta itu. Semua pemuda berebut untuk mengajaknya berdansa. Dan tentu saja hal ini membuat ketujuh gadis ini semakin murka.

Akhirnya orang tua Akim mengetahui kehadiran Akim di pesta itu. Mereka marah dan menyuruh Akim untuk segera pulang. Ketika Akim menceritakan hal itu kepada ketujuh gadis itu, mereka berkata “Baiklah, kami akan mengantarmu pulang. Tapi sebelumnya kami harus makan dulu. Jadi, tunggulah sebentar lagi.”

Tanpa sepengetahuan Akim, ketujuh gadis itu masing-masing menyembunyikan sedikit makanan di kantung mereka. Sementara Akim yang tidak tahu menahu, meninggalkan pesta itu tanpa membawa sepotong makanan pun.

Ketika tiba di tepi sungai, ketujuh gadis itu berjongkok, meminta ijin kepada dewa Sungai lau melemparkan makanan yang dibawanya. Akim terkejut, ia memohon kepada mereka untuk membagi sedikit makanannya, namun mereka menolak.
Benar saja, ketika rakit yang mereka tumpangi tiba di tengah sungai, dewa sungai menarik Akim ke dasar sungai. Ketujuh gadis itu pulang dengan hati puas, karena telah berhasil menjalankan rencananya.

Orang tua Akim yang tiba esok harinya, terkejut mendapati rumah mereka masih terkunci dan anak mereka hilang entah kemana. Ketujuh gadis yang mereka tanyai mengaku Akim telah pulang dengan selamat dan setelah itu mereka belum bertemu lagi dengannya.

Dengan putus asa, orang tua Akim bertanya pada tukang rakit yang menyebrangkan mereka. Darinya ia tahu bahwa Akim telah ditawan oleh dewa Sungai. Burung di pinggir sungai itu juga ikut memberi kesaksian mengenai kekejaman ketujuh gadis yang tidak mau memberi sedikit makanan mereka kepada Akim.
“Oh, celakalah anakku,” kata ayah Akim dengan sedih.
“Jangan khawatir! Aku tahu caranya membujuk dewa Sungai,” kata tukang rakit.
“Bagaimana caranya?” tanya ayah Akim.
“Besok, bawalah seekor sapi, sekeranjang telur dan segulung kain putih untuk ditukar dengan anakmu. Dewa sungai akan melemparkan anakmu sebanyak 7 kali. Tapi jika kau gagal menangkapnya pada lemparan yang ke tujuh, maka gadis itu akan hilang selamanya,” jelasnya.

Esoknya orang tua Akim membawa persyaratan yang diminta dan melemparkannya ke tengah sungai dan memohon agar anak mereka dikembalikan. Tiba-tiba dari dalam sungai, terlontarlah tubuh Akim yang langsung ditangkap oleh ayahnya. Maka mereka pun pulang dengan bahagia.

Ayah Akim yang masih mendendam kepada ketujuh gadis itu, merencanakan untuk membalas dendam. Dia menggali sebuah lubang yang dalam di salah satu sudut rumahnya. Lubang itu kemudian diisinya dengan daun-daun kering. Di atasnya ia gelar sebuah kasur tipis. Kemudian ia mengundang warga desa untuk berpesta merayakan kembalinya Akim.

Ketujuh gadis itu awalnya tidak mau datang karena takut, namun ayah Akim sengaja datang ke rumah mereka masing-masing dan memohon mereka untuk datang.

Ayah Akim pura-pura menyambut mereka dengan ramah dan mepersilahkan mereka untuk duduk di kasur yang telah disediakan. Begitu mereka duduk di atasnya, mereka pun jatuh ke dalam lubang.
“Inilah balasan bagi kalian,” kata ayah Akim sambil melemparkan sebatang obor ke dalam lubang yang langsung membakar daun-daun kering di dalamnya.
Ketujuh gadis itu berteriak minta ampun, namun api dengan cepat melahap tubuh mereka sehingga tewas.

Rabu, 26 Desember 2012

Willem dan Irene (Belanda)

Beratus tahun yang lalu di sebuah desa bernama Volendam yang terlatak di pesisir pantai utara Belanda, hiduplah keluarga Jansen dan keluarga Hendrik yang masing-masing memiliki anak berumur 9 tahun. Seperti sebagian besar penduduk di desa tersebut, dua keluarga tersebut mencari nafkah dengan menangkap ikan. Keluarga Jansen mempunyai anak perempuan bernama Irene dan keluarga Hendrik mempunyai anak laki-laki bernama Willem. Willem dan Irene adalah anak-anak yang rajin. Willem selalu membantu ayahnya memperbaiki jala yang rusak. Irene selalu membantu ibunya yang berjualan makanan di pinggir pantai.
Suatu hari seperti biasa Willem dan Irene menunggu kepulangan ayah mereka di pinggir dermaga. Satu persatu nelayan-nelayan yang pulang melaut merapat ke pantai dan disambut keluarga mereka. Pagi sudah beranjak siang namun belum terlihat tanda-tanda kepulangan ayah mereka.
“Pak, apakah bapak melihat ayah kami?” tanya Irene pada salah satu nelayan.
“Oh, kami memang melihat ayah kalian di tengah laut. Tapi sepertinya mereka menuju ke utara, katanya mau menangkap ikan tuna lebih banyak lagi,” jawab si nelayan.
Irene menatap langit di utara, tampak awan mendung bertumpuk, sepertinya akan turun hujan lebat dan badai. Irene sangat khawatir sampai lututnya tak mampu menyangga tubuhnya hingga ia jatuh terduduk.
“Oh ayah…,” isak Irene.
“Jangan khawatir Irene,” hibur Willem. “Mereka pasti baik-baik saja.”
“Tapi mendung begitu tebal,” tangis Irene. “Bagaimana kalau mereka terjebak badai? Kapalnya bisa terbalik dan tenggelam. Oh seandainya aku bisa menolong mereka.”
“Tentu saja kita bisa menolong ayah kita,” kata Willem.
“Benarkah? Bagaimana caranya?” tanya Irene.
“Dengan berdoa,” jawab Willem dengan mantap.
Irene memandang Willem. “Apakah Tuhan akan mendengar doa kita?” tanyanya.
“Ya, aku yakin. Karena Tuhan yang mengendalikan alam. Kita harus berdoa semoga Tuhan mau menghentikan hujan dan membuat laut menjadi tenang,” kata Willem.
Mereka lalu berlutut dan berdoa dengan khusyuk. Ajaib tiba-tiba langit menjadi terang dan angin yang tadinya kencang tiba-tiba bertiup lembut. Tidak berapa lama dari tengah laut nampak sebuah perahu yang makin lama makin dekat.
“Semoga itu ayah kita,” seru Irene.
Ternyata itu memang perahu ayah mereka. Kedua anak itu berseru mengucap syukur, mereka pun segera berlari menyongsong ayah mereka. Wah, ternyata ayah mereka selain membawa tangkapan yang banyak, juga berhasil menangkap seekor ikan tuna yang sangaaaaat besar. Belum pernah ada nelayan lain yang pernah menangkap tuna sebesar itu. Pak Hendrik dan Pak Jansen bersyukur bias pulang dengan selamat. Mereka tadinya berpikir akan terjebak badai, syukurlah tiba-tiba saja langit menjadi cerah seperti terkena sihir. Willem dan Irene saling berpandangan dan tersenyum.
Ayah mereka membawa hasil tangkapan mereka ke tempat pelelangan ikan. Pembeli berebut ingin membeli ikan tuna yang besar itu. Akhirnya seorang pemuda yang menawar dengan harga tinggi berhak atas ikan tersebut.
“Aku ingin membuat pesta disini,” kata si pemuda. “Bagaimana kalau aku undang kalian untuk makan ikan ini bersama-sama.”
Semua menyambut gembira ajakan si pemuda.
“Baiklah saya yang akan memasak ikannya,’ kata ibu Irene.
Willem dan Irene membawa ikan itu ke dapur untuk dibersihkan. Saat mengeluarkan isi perut ikan, tiba-tiba sebuah benda berkilauan terjatuh. Irene memungut benda tersebut. Ternyata sebuah cincin berlian.
“Waaaah, indah sekali cincin ini!” seru Irene. “Harganya pasti mahal sekali. Oh, aku ingin sekali memilikinya.”
“Jangan Irene,” cegah Willem. “Karena cincin itu berada di perut ikan tuna yang telah dibeli pemuda tadi, maka cincin itu adalah miliknya. Ayo kita serahkan kepadanya”
Willem dan Irene menyerahkan cincin itu kepada si pemuda. Pemuda itu kagum akan kejujuran kedua anak tersebut.
“Seandainya mereka tidak menyerahkan cincin itu padaku, akupun tidak akan tahu kalau ada cincin berlian di dalam perut ikan yang kau beli,” batin si pemuda. “Tapi mereka tetap menyerahkannya padaku. Benar-benar anak yang luar biasa.”
Pemuda itu tersenyum pada Willem dan Irene. Dia lalu membuka jubah yang menutup tubuhnya. Ternyata dibaliknya adalah baju kebesaran kerajaan. Ternyata pula pemuda itu adalah pangeran yang sedang menyamar.
“Kalian anak yang jujur,” katanya. “Aku sangat menghargainya. Untuk itu mulai besok aku akan membawa Willem ke istana. Kau kuangkat sebagai pengawal pribadiku. Dan Irene ibuku pasti akan sangat senang bertemu denganmu. Dia sangat ingin punya anak perempuan. Bagaimana kalau kau kuangkat sebagai adikku?”
Sejak saat itu Willem dan Irene menjadi anggota kehormatan kerajaan. Berkat sebuah kejujuran, mereka bisa hidup mulia.

Burung hantu dan belalang (Aesop)

Burung hantu selalu tidur di siang hari. Setelah matahari terbenam, ketika cahaya merah memudar dari langit dan perlahan-lahan bayangan naik dia menggeliat dan berkedip dari lubang pohon tua. Sekarang dia berseru "hoo-hoo-hoo-oo-oo" bergema melalui kayu yang rimbun dan ia mulai berburu  serangga, kumbang, katak dan tikus sebagai makanan kesukaannya.
Saat ini ada seekor  burung hantu tua yang galak, terutama jika ada yang mengganggu saat ia tidur. Suatu sore musim panas yang hangat saat ia tertidur jauh di dalam lubang pohon tua, belalang di dekatnya mulai menyanyikan lagu gembira namun sangat menyesakkan telinga.  Burung hantu tua menengok dari lubang pohon yang digunakan sebagai pintu dan jendela.

"Pergi dari sini, tuan," katanya kepada belalang tersebut. 
"Apakah Anda tidak memiliki sopan santun? Anda setidaknya harus menghormati usia saya dan membiarkan saya tidur dengan tenang! 
"

Tapi Belalang menjawab dengan kasar bahwa adalah juga haknya di tempat ini saat matahari bersinar sama di pohon tua. Lalu ia meneriakkan suara lebih keras dan lagu berisik yang menjadi-jadi.

Burung hantu tua yang bijak tahu benar bahwa tak ada gunanya berdebat dengan Belalang keras kepala ini. Selain itu, matanya semakin rabun untuk memungkinkan dirinya menghukum Belalang. Akhirnya dia melupakan semua kata keras dan kembali berbicara dengan sangat ramah kepadanya.
 "Tuan yang baik hati," katanya, "jika saya harus tetap terjaga, saya akan datang untuk menikmati nyanyian Anda.  Tapi saat ini saya memiliki anggur lezat di sini, kiriman dari Olympus,  saya kira merupakan minuman Apollo sebelum ia menyanyi untuk para dewa tinggi. Silahkan datang dan rasakan minuman lezat ini dengan saya. Saya tahu itu akan membuat Anda bernyanyi seperti Apollo . "


Belalang bodoh itu terhanyut oleh kata-kata sanjungan burung hantu. Akhirnya dia melompat ke sarang burung hantu, begitu belalang cukup dekat dalam jangkauan penglihatan, ia menerkam dan memakannya.




Makna dari kisah ini : Pujian terkadang bukanlah bukti kagum yang sesungguhnya. Jangan biarkan pujian melambungkan Anda sehingga lengah melawan musuh.

Tikus kota dan tikus desa (Aesop)

Seekor tikus kota suatu saat mengunjungi kerabatnya yang tinggal di desa. Untuk makan siang, tikus desa menyajikan tangkai gandum, akar-akaran, dan biji-bijian, dengan sedikit air dingin untuk diminum. Tikus kota makan sangat hemat, menggigit ini sedikit dan itu sedikit, dari sikapnya terlihat jelas bahwa ia makan hanya untuk bersikap sopan.

Setelah makan tikus kota berbicara tentang hidupnya di kota sedangkan tikus desa mendengarkan. Mereka kemudian berisitrahat di sebuah sarang di pagar tanaman dan tidur dengan tenang dan nyaman sampai pagi. Dalam tidurnya tikus desa bermimpi dengan semua kemewahan dan kesenangan kehidupan kota yang diceritakan oleh tikus kota. Jadi keesokan harinya ketika tikus kota meminta tikus desa untuk mencoba hidup di kota, ia dengan senang hati mengiyakan.
 Ketika mereka sampai di rumah di mana tikus kota tinggal, mereka menemukan di meja ruang makan, terhampar sisa-sisa dari pesta yang sangat mewah. Ada daging manis dan enak, kue kering, keju lezat, memang, makanan yang paling menggiurkan yang bisa dibayangkan seekor tikus. Tapi ketika tikus desa hendak menggigit sedikit remah kue, ia mendengar Kucing mengeong dengan keras dan mencakar di pintu. Dalam ketakutan yang sangat besar, kedua tikus bergegas lari ke tempat persembunyian, dimana mereka berbaring diam untuk waktu yang lama, dengan jantung berdebar kencang, hampir tidak berani bernapas. Ketika akhirnya mereka berani kembali ke meja, tiba-tiba pintu terbuka dan muncul pelayan untuk membersihkan meja, diikuti oleh Anjing penjaga rumah.

 Sejurus kemudian, tikus desa mengambil tas dan payungnya, keluar dari sarang tikus kota dan berkata, “Kamu mungkin bisa makan enak dan lezat disini sementara saya tidak, tapi saya lebih suka makanan sederhana dan hidup aman tanpa ketakutan di desa.”


Moral dari kisah ini : Kemiskinan dengan keamanan yang lebih baik daripada kaya di tengah-tengah ketakutan dan ketidakpastian.

Burung pipit dan anaknya (Aesop)

Pada suatu hari, tampak sepasang burung pipit membuat sarang di sebuah ladang gandum muda. Berhari-hari berlalu, batang-batang gandum tumbuh tinggi dan anak-anak burung  juga tumbuh. Suatu hari, ketika gandum matang berwarna emas melambai ditiup angin, petani dan putranya datang ke ladang. 

"Gandum ini sekarang siap untuk dipanen," kata petani. "Kita harus memanggil tetangga dan teman-teman untuk membantu kita panen." 



Pipit muda yang bersembunyi di sarang mereka sangat ketakutan, mereka tahu jika mereka tidak segera meninggalkan sarang sebelum mesin pemanen datang akan berbahaya. Ketika induknya  kembali dengan membawa makanan, mereka mengatakan apa yang telah mereka dengar.

"Jangan takut, anak-anak," kata induknya. "Jika Petani berkata bahwa ia akan memanggil tetangga dan teman-temannya untuk membantunya melakukan pekerjaan,  untuk sementara waktu belum dipanen."

Beberapa hari kemudian, gandum begitu matang,  ketika angin mengguncang batang, hujan datang gemerisik butir gandum jatuh di atas kepala pipit muda '. 

"Jika gandum ini tidak dipanen kali ini," kata petani, "kita akan kehilangan separuh hasil panen.  Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi bantuan dari teman-teman.  Besok kita harus mulai bekerja sendiri."

Ketika pipit muda menceritakan kepada ibu mereka apa yang mereka telah dengarkan hari ini, ia berkata: "Kita harus pergi secepatnya. Ketika seorang pria memutuskan untuk melakukan pekerjaan sendiri dan tidak bergantung pada orang lain, maka kita bisa yakin tidak akan ada penundaan lagi."
Mereka segera belajar terbang sore itu juga, dan tepat waktu matahari terbit keesokan harinya, ketika Petani dan putranya memanen gandum, mereka menemukan sebuah sarang kosong. 

 


Moral dari kisah ini : Berusaha sendiri, tidak tergantung kepada orang lain, adalah bantuan yang terbaik.

Petani dan anaknya (Aesop)

Seorang petani tua kaya, merasa bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi, memanggil anak-anak ke samping tempat tidurnya untuk memberikan kata-kata terakhir.
"Anak-anakku," katanya, "Dengarkan apa yang hendak saya katakan kepada kalian: Janganlah hanya menghitung seberapa luas lahan warisan kita. Di suatu tempat di perkebunan ini tersembunyi sebuah harta karun yang sangat berharga. Saya tidak tahu tempat yang tepat, tapi sudah ada, dan kalian pasti akan menemukannya. Pergunakan seluruh tenaga dan jangan sampai ada tempat yang terlewat dalam pencarian kalian. "



Sang ayah akhirnya meninggal, dan tidak lama setelah dia dikuburkan, kemudian anak-anaknya mulai bekerja menggali dengan sekuat tenaga mereka, membalik setiap jengkal tanah dengan sekop mereka, dan pergi ke seluruh tanah pertanian sampai dua atau tiga kali.


Tidak ada emas tersembunyi yang mereka temukan, tetapi pada saat panen ketika mereka telah melakukan penghitungan dengan seksama dan telah mengantongi keuntungan yang jauh lebih besar dari salah satu tetangga mereka, mereka baru mengerti bahwa harta karun yang dikatakan oleh ayah mereka sebenarnya adalah kekayaan dari hasil panen tanaman yang melimpah, dan bahwa dari  hasil kerajinan dan kerja keras mereka sendiri ternyata mereka telah menemukan harta karun itu.




Moral dari kisah ini : Kerajinan itu sendiri adalah harta karun yang berharga.

Anak laki-laki dan katak ( Aesop )

Suatu hari, beberapa anak laki-laki sedang bermain di tepi sebuah  kolam yang ditinggali oleh para katak. Anak-anak itu menghibur diri dengan melemparkan batu-batu ke kolam  sehingga membuat katak-katak itu ketakutan dan melompat kesana-kemari di dalam air untuk menghindari lemparan batu itu.
Batu-batu itu terbang dan menghujani kolam dengan cepat dan para pemuda itu merasa sangat senang, tetapi katak-katak yang malang yang ada di kolam itu gemetar ketakutan.
Akhirnya salah satu dari katak-katak itu, yang tertua dan yang paling berani, menongolkan kepalanya ke permukaan air, dan berkata, “Tolong, hentikan permainan kejam kalian! Walaupun itu asyik bagi kalian, tapi berarti kematian bagi kami!”



Moral dari kisah ini : Dalam hidup ini, selalu berpikir apakah kesenangan Anda bisa menyebabkan penderitaan bagi orang lain.

kucing bersepatu bots (Charles Perrault)

Suatu hari hidup seorang petani miskin yang memiliki tiga putra. Ketika dia wafat, dia tidak punya banyak warisan untuk dibagikan. Putra sulung mendapat penggilingan padi. Putra kedua mendapat keledai, tapi putra ketiga hanya mendapat seekor kucing dan tiga keping uang.

          Apa yang bisa kulakukan dengan seekor kucing dan tiga keping uang? pikir pemuda itu.
"Majikanku, berhentilah berpikir, carikan pakaian indah dan sepasang bot untukku," kata si kucing. Pemuda itu melihat kucingnya sangat cerdik dan membelikan apa yang dimintanya. Setelah berpakaian, si kucing mengambil karung besar dan menangkap kelinci yang gemuk.

         Kucing Bersepatu Bot mendatangi raja negeri itu. "Ini hadiah dari majikanku, Marquis de Carabas!" katanya. Sang raja yang senang makan sangat gembira. Kucing itu datang setiap hari sambil membawakan kelinci, ayam hutan, atau kalkun! "Majikanmu baik sekali! Aku ingin bertemu dengannya," kata sang raja suatu hari.

          Suatu pagi, ketika kereta Raja lewat dekat sungai, si kucing memanggil majikannya dan menyuruhnya membuka pakaian lalu masuk ke sungai. "Tolong! Marquis de Carabas tenggelam!" teriak si kucing. Sang raja menyuruh pengawalnya menolong pemuda itu.

           Si kucing menjelaskan pada Raja bahwa perampok mencuri pakaian majikannya, sementara itu si pemuda memperkenalkan diri pada Putri Raja. "Putri, jangan salah sangka, saya tidak biasa memperkenalkan diri tanpa pakaian begini." 

           "Mari ikut jalan-jalan, Marquis," kata Raja. Saat itu, si kucing, yang melihat semua berjalan dengan sesuai keinginannya, lari mendahului rombongan untuk menemui rakyat yang sedang bekerja di ladang mereka. "Orang-orang baik," teriaknya, "Raja akan lewat jalan ini. Bila kalian ditanya, katakan semua ini wilayah ini milik Marquis de Carabas, kalau tidak aku akan menyuruh kalian dihukum!"

           Kucing itu terus berlari dan mengulangi perintahnya kepada semua orang yang ditemuinya. Tiba-tiba, di atas sebuah bukit, dia menemukan istana yang indah sekali. Dua petani yang ditemuinya menjelaskan bahwa di istana itu tinggal raksasa yang sangat jahat. "Mulai sekarang," kata si kucing, "bila ditanya, kalian harus berkata istana ini milik Marquis de Carabas!" Sementara itu akan kuurus si raksasa, pikir Kucing Bersepatu Bot. 

            Kucing Bersepatu Bot mengetuk pintu. Seorang pelayan mengantarnya menemui si raksasa. Raksasa itu benar-benar besar dan gemuk. "Yang mulia, saya merasa sangat terhormat bisa bertemu raksasa sangat terkenal seperti Anda!" kata si kucing sambil membungkuk hormat. Si raksasa yang tersanjung karena pujian itu menyimak kata-katanya. 

           "Orang-orang berkata," kata si kucing, "Anda ini penyihir!" 

           "Memang benar, aku bisa berubah jadi apapun yang kuinginkan!" dengan raungan yang bisa menggetarkan dinding, raksasa itu berubah menjadi singa!  "Ini....ini hebat sekali!" kata si kucing, menyembunyikan rasa takutnya.

           "Mereka juga bilang Anda bisa berubah jadi binatang yang kecil! Tikus, misalnya," kata si kucing. "Tapi sepertinya itu tidak mungkin!"

           "Tidak mungkin?" teriak si raksasa. "Lihat baik-baik!" Sesaat kemudian dia berubah menjadi tikus. Si kucing langsung melompat dari duduknya, menangkap tikus itu, lalu menelannya. 

            Selama berjalan-jalan, tiba-tiba Raja melihat istana yang sangat indah. "Berhenti, kusir!" Aku ingin menanyai dua petani itu. Tuan-tuan, siapa yang memiliki istana di bukit itu?"      

            "Marquis de Carabas," jawab para petani itu. "Marquis, istana Anda indah sekali!" kata Raja kagum.

"Aku ingin mengunjunginya!" Lalu Raja menyuruh kusirnya mengarahkan kereta ke istana tersebut. 

            Sang marquis menggandeng tangan sang putri dan menuntunnya ke aula besar. Di istana, berpiring-piring makanan enak dan tertata indah memenuhi meja. "Yang Mulia, silakan duduk," kata si kucing.

            Sang Raja makan enak, Marquis dan Putri Raja mengobrol akrab. Mereka saling jatuh cinta. Raja melihat hal ini dan berkata, "Marquis, kepadamulah kuberikan putriku. Menikahlah besok, kalian mendapat restuku!" 

           "Nah, kau bisa membalasku dengan mencarikan kucing betina yang bulunya sama merahnya denganku," kata si kucing. "Kau sudah memiliki kekayaan dan kebahagiaan! Saat ini aku sudah menjadi tuan besar dan tidak perlu lagi mengejar-ngejar tikus!"

Belalang dan Semut (Aesop)

ada siang hari di akhir musim gugur, satu keluarga semut yang telah bekerja keras sepanjang musim panas untuk mengumpulkan makanan, mengeringkan butiran-butiran gandum yang telah mereka kumpulkan selama musim panas. Saat itu seekor belalang yang kelaparan, dengan sebuah biola di tangannya datang dan memohon dengan sangat agar keluarga semut itu memberikan sedikit makan untuk dirinya.

"Apa!" teriak sang Semut dengan terkejut, "tidakkah kamu telah mengumpulkan dan menyiapkan makanan untuk musim dingin yang akan datang ini? Selama ini apa saja yang kamu lakukan sepanjang musim panas?"

"Saya tidak mempunyai waktu untuk mengumpulkan makanan," keluh sang Belalang; "Saya sangat sibuk membuat lagu, dan sebelum saya sadari, musim panas pun telah berlalu."

Semut tersebut kemudian mengangkat bahunya karena merasa gusar.
"Membuat lagu katamu ya?" kata sang Semut, "Baiklah, sekarang setelah lagu tersebut telah kamu selesaikan pada musim panas, sekarang saatnya kamu menari!" Kemudian semut-semut tersebut membalikkan badan dan melanjutkan pekerjaan mereka.

Senin, 24 Desember 2012

Teryosha (Rusia)

Jaman dahulu kala, di tepi hutan hiduplah sepasang suami istri yang sudah tua. Karena tidak dikaruniai seorang anak pun mereka sering merasa kesepian. Suatu hari si Ayah menebang kayu di hutan dan membuatkan Ibu sebuah boneka kayu. Ibu sangat senang sekali, dia membuatkan baju untuk boneka itu, menggendongnya bahkan bersenandung meninabobokannya:

Tutuplah matamu yang indah, Teryosha,
Tidurlah anakku sayang!
Semua burung dan ikan,
semua kelinci dan serigala
Telah pulang ke tengah rimba
Tidurlah anakku sayang!

Lama-kelamaan, boneka kayu yang dipanggil Teryosha itu semakin mirip manusia sampai akhirnya dia menjelma menjadi seorang anak laki-laki yang cerdas. Ayah membuatkannya sebuah perahu kecil berwarna putih dengan sepasang dayung berwarna merah. Teryosha menaiki perahu tersebut dan berkata:
Perahu kecilku, lakukanlah apa yang kumau
Bawalah aku ketempat ikan berkumpul.
Perahu kecil itu perlahan-lahan mulai bergerak ke tengah sungai, makin lama makin jauh.
Sejak saat itu setiap hari teryosha pergi memancing. Siang hari ibunya akan datang ke tepi sungai dengan membawa makan siang, lalu mulai bernyanyi memanggil Teryosha:

Datang dan makanlah, Teryosha anakku,
Ibu bawakan susu, keju, roti, dan madu! 
 
Teryosha, mendengar suara ibunya dari kejauhan, akan segera mendayung perahunya ke tempat ibunya menunggu. Ibu akan mengambil ikan yang ditangkapnya, memberinya makan siang, mengganti pakaiannnya, kemudian membiarkannya berlayar lagi.
Seorang penyihir jahat melihat kejadian itu dan mulai mempelajari apa yang dilakukan ibu saat memanggil Teryosha. Dia ingin sekali menyantap teryosha. Maka, suatu hari dia datang ke tepi sungai dan mulai bernyanyi dengan suaranya yang sember:

Datang dan makanlah, Teryosha anakku,
Ibu bawakan susu, keju, roti, dan madu!

Teryosha tahu bahwa itu bukanlah suara ibunya. Dia memerintahkan perahunya untuk segera menjauhi tempat si penyihir. Penyihir jahat itu lalu pergi ke tempat pandai besi dan memintanya untuk mengubah tenggorokannya sehingga dia bisa memiliki suara seindah suara ibu teryosha. Si pandai besi menuruti kemauan si penyihir. Lalu si penyihir kembali ke tepi sungai dan mulai bernyanyi memanggil Teryosha:

Datang dan makanlah, Teryosha anakku,
Ibu bawakan susu, keju, roti, dan madu!

Kali ini Teryosha mengira kalau itu adalah suara ibunya, karena suaranya memang sangat mirip. Dia mulai mendayung perahunya ke tepi sungai. Dengan mudah si penyihir menangkapnya, memasukkannya ke dalam tas, dan membawanya ke tengah hutan.
Di tengah hutan ada sebuah gubuk tempat si penyihir tinggal bersama anak gadisnya yang bernama Alynoka. Penyihir menyuruh anaknya menyalakan oven dan memanggang Teryosha untuk makan malam, lalu dia pergi lagi.
Alyonka mulai menyalakan api. Ketika api membesar dan sudah sangat panas, dia menyuruh teryosha untuk berbaring di atas panggangan. Tapi Teryosha hanya duduk di atasnya, merentangkan tangan dan kakinya sehinggga Alyonka tidak bisa memasukkan panggangan tersebut ke dalam oven.
“Aku menyuruhmu berbaring,” bentak alyonka.
“Aku tidak tahu bagaimana cara berbaring. Coba tunjukan padaku…”, jawab Teryosha.
“Berbaringlah seperti kucing dan anjing tidur,” kata alyonka.
“Kalau begitu tunjukkan padaku, aku belum mengerti,” pinta Teryosha.
Alyonka lalu berbaring di atas panggangan, dan Teryosha dengan cepat mendorongnya ke dalam oven, menutup dan menguncinya rapat-rapat. Dia berlari keluar dan memanjat sebuah pohon oak tua, karena dia melihat kedatangan si penyihir di kejauhan.
Penyihir itu sangat kelaparan, dia segera membuka pintu oven dan melahap alyonka dengan rakusnya. Karena merasa kekenyangan dia keluar dan mulai bersenandung :

Ku akan bermalas-malasan dan berbaring tenang,
Dengan daging Teryosha aku senang dan kenyang ! 

Teryosha menjawab lirih dari atas pohon oak:
“ Dengan daging Alyonka kamu kenyang! ”
“Ah, itu hanya suara angin,” pikir si penyihir, maka dia terus bersenandung:

Ku akan bermalas-malasan dan berbaring tenang,
Dengan daging Teryosha aku senang dan kenyang ! 

Dan Teryosha menjawab lagi: ” Dengan daging Alyonka kamu kenyang!”
Penyihir mendongak dan melihat Teryosha duduk di atas pohon. Dia sangat marah lalu berlari ke pohon dan mencoba merobohkannya dengan cara menggigitnya. Dia terus menggigiti pohon oak sampai gigi depannya patah.
Dia berlari ke pandai besi: “Buatkan aku gigi besi.”
Pandai besi membuatkan 2 gigi besi dan memasangkannya. Lalu si penyihir menggigiti pohon oak lagi.
Dia terus menggigiti pohon oak sampai 2 gigi bawahnya patah. Dia meminta pandai besi membuatkannya dua gigi besi lagi, yang lalu dipasangnya. Lalu kembali menggigiti pohon oak tersebut. Semakin lama semakin cepat, hingga pohon oak itu mulai bergoyang-goyang dan hampir tumbang.
“Apa yang harus kulakukan?” pikir Teryosha.
Tiba-tiba dia melihat sekawanan angsa liar terbang melintas, maka Teryosha memohon bantuan pada mereka:

Oh, teman-teman baikku, angsa-angsa yang cantik,
Tolong bawalah aku pulang ke tempat ibiku yang baik! 

Tetapi angsa-angsa itu menjawab: “Nanti ada sekawanan angsa lagi yang terbang di belakang kami, mereka lebih muda dan kuat daripada kami, mereka pasti bisa membawamu”.
Penyihir yang mendengar jawaban si angsa, tertawa sinis, dan menggigiti pohon oak lebih keras lagi.
Sekawanan angsa yang lain datang lagi, Teryosha kembali memohon:

Oh, teman-teman baikku, angsa-angsa yang cantik,
Tolong bawalah aku pulang ke tempat ibiku yang baik!  
Tapi angsa-angsa itu menjawab: “Ada seekor anak angsa yang terbang di belakang kami, Dia bisa membawamu pulang”
Tinggal sedikit lagi gigitan maka penyihir akan bisa menumbangkan pohon oak.
Tak berapa lama, seekor anak angsa terbang melintasi kepala Teryosha, dia kembali memohon:

Wahai anak angsa yang baik hati,
Tolong bawalah aku pulang ke tempat ibu yang aku sayangi ! 

Angsa muda itu merasa kasihan melihat Teryosha, maka dia pun membiarkan Teryosha naik ke punggungnya. Dan membawa Teryosha terbang meninggalkan si penyihir yang marah menuju rumah ibu Teryosha.
Akhirnya sampailah Teryosha dan angsa muda di rumah orangtua Teryosha. Dari balik jendela dia melihat Ibu Teryosha sedang menyajikan pancake, memberikan satu untuk ayah dan berkata: “ini satu untukmu, dan satu lagi untukku.”
“Lalu mana buatku?” tanya Teryosha dari luar rumah.
“Keluarlah dan lihat siapakah yang meminta pancake.” kata ibu kepada ayah.
Ayah keluar dan menemukan Teryosha, lalu membawanya masuk. Ibu Teryosha sangat gembira melihatnya. Dia memeluk dan menciumi Teryosha yang sangat dirindukannya.
Mereka menghadiahi si anak angsa makanan dan minuman yang banyak, dan membiarkannya bebas di halaman sampai dia tumbuh besar dan kuat. Sekarang dia siap memimpin sekelompok angsa untuk terbang, dan tidak pernah melupakan Teryosa.

Tiga Wanita Penenun (grimm bersaudara)


Dahulu kala ada seorang gadis yang sangat malas dan tidak pernah mau menenun kain, dan ibunya tidak pernah bisa membujuk gadis tersebut untuk melakukan apa yang harus dilakukan. Akhirnya ibunya menjadi sangat marah dan kehilangan kesabaran dan mulai memukul anak gadisnya dengan keras. Pada saat itu Ratu yang kebetulan lewat, berhenti di depan rumah gadis tersebut karena mendengar gadis itu menangis. Ratu kemudian masuk ke dalam rumah dan bertanya apa yang terjadi pada gadis itu dan mengapa ibunya memukuli anak gadisnya sampai-sampai semua orang yang berada di jalan dapat mendengarkan gadis tersebut menangis.
Ibu gadis tersebut menjadi sangat malu untuk mengakui kemalasan anak gadisnya, sehingga dia berkata,
“Saya tidak bisa menghentikan dia menenun, dia selalu ingin mengerjakannya setiap waktu dan saya terlalu miskin sehingga tidak bisa menyediakan dia rami – bahan untuk ditenun yang cukup.”
Kemudian Ratu menjawab,
“Saya sangat senang mendengar suara roda alat pemintal, dan saya merasa senang mendengarkan mereka bersenandung, biarkanlah saya membawa putrimu ke istana, saya mempunyai banyak rami dan bahan tenung, di sana dia dapat memintal dengan hati gembira.”
Ibu gadis tersebut sangat senang mendengarkan tawaran itu, dan Ratu pun kemudian membawa gadis tersebut bersamanya. Ketika mereka mencapai istana, Ratu memperlihatkan tiga ruangan yang penuh dengan rami dan bahan tenun yang terbaik yang ada di kerajaannya.
“Sekarang kamu dapat menenun rami ini,” Katanya, “dan bila kamu berhasil menyelesaikannya, kamu akan saya nikahkan dengan putra tertua saya; kamu mungkin miskin tapi saya tidak akan memperdulikan hal itu, kain yang kamu buat dari rami ini cukup sebagai emas kawin,”
Gadis itu ketakutan dalam hati, karena dia sama sekali tidak dapat menenun, biarpun dia hidup seratus tahun dan duduk menenun setiap hari selama hidupnya dari pagi sampai malam. Dan ketika dia berada sendirian dia mulai menangis, dan duduk selama tiga hari tanpa menyentuh alat tenun. Pada hari ketiga, Ratu datang, dan ketika dia melihat tidak ada satupun tenunan yang selesai, dia lalu terkejut; tetapi gadis tersebut beralasan bahwa dia belum bisa mulai menenun karena dia masih bersedih akibat perpisahan dengan rumah dan ibunya. Alasan itu membuat Ratu menjadi tenang, tetapi ketika Ratu akan beranjak pergi, dia mengatakan “Besok pekerjaan kamu harus dimulai.”
Ketika gadis itu sendirian lagi, dia tidak dapat berbuat apa apa untuk menolong dirinya sendiri atau melakukan apapun yang sudah seharusnya dilakukan. Dalam kebingungannya dia cuma keluar dan menatap keluar jendela. Saat itu dilihatnya tiga orang wanita lewat didepannya, dan wanita yang pertama memiliki kaki yang lebar dan rata, yang kedua mempunyai bibir yang tergantung turun sampai ke dagunya, dan yang ketiga memiliki ibu jari tangan yang sangat lebar. Mereka kemudian berhenti di depan jendela, dan mencoba bertanya apa saja yang gadis itu inginkan. Gadis itu menjelaskan apa yang dibutuhkannya, dan mereka berjanji akan membantunya, dan berkata,
“Kamu harus mengundang kami ke pesta pernikahanmu, dan tidak malu karena kehadiran kami, menyebut kami sebagai sanak keluarga dan sepupumu, dan diperbolehkan duduk satu meja dengan kamu; jika kamu berjanji akan memenuhi hal ini, kami akan menyelesaikan tenunan tersebut dalam waktu singkat.”
“Saya berjanji sepenuh hati,” jawab si gadis; “masuklah dan mulailah sekarang.”
Lalu ketiga wanita itu masuk, dan mereka membersihkan sedikit ruangan pada kamar pertama untuk mereka agar mereka dapat duduk dan menempatkan alat tenun mereka.  Wanita yang pertama menarik keluar benang dan mulai menapakkan kakinya ke tuas yang memutar roda alat tenun, wanita yang kedua membasahi benang,  dan wanita yang ketiga memilin dan meratakannya dengan ibu jarinya diatas meja, perlahan-lahan gulungan-gulungan benang yang indah berjatuhan diatas lantai, dan ini menghasilkan tenunan yang sangat indah. Gadis itu menyembunyikan ketiga wanita penenun itu dari pandangan mata sang Ratu sehingga setiap kali Ratu berkunjung, sang Ratu hanya melihat dia sendirian bersama tumpukan tenunan yang sangat indah; dan tidak terhingga pujian-pujian yang diterimanya dari Ratu. Ketika kamar pertama sudah kosong, mereka mulai menenun di kamar kedua, lalu ke kama ketiga sampai semua rami telah selesai di tenun. Lalu saat ketiga wanita penenun itu akan pergi, mereka berkata pada sang Gadis,
“Jangan lupa dengan apa yang kamu janjikan, dan semuanya akan menjadi lebih baik untuk kamu.”
Ketika sang Gadis memperlihatkan pada Ratu ruangan yang telah kosong, dan sejumlah besar tenunan, Ratu langsung mengatur pernikahan gadis itu dengan putranya yang tertua, dan mempelai pria itupun sangat senang karena mendapatkan calon istri yang sangat pandai dan rajin.
“Saya mempunyai tiga orang sepupu,” kata Gadis itu, “dan karena mereka sangat baik kepada saya, Saya tidak akan pernah lupa kepada mereka disaat saya mendapatkan keberuntungan; bisakah saya mengundang mereka datang ke pesta, dan meminta mereka duduk satu meja dengan kita?”
Ratu dan putra tertuanya yang akan menjadi calon suami berkata bersamaan,
“Kamu boleh mengundangnya datang, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mengundangnya kesini,”
Ketika perjamuan dimulai, ketiga wanita penenun tersebut datang tanpa menyembunyikan keburukan rupa mereka, dan sang Gadis berkata,
“Sepupuku yang baik, selamat datang.”
“Oh,” kata mempelai pria, “bagaimana kamu bisa mempunyai sanak keluarga yang sangat buruk rupa?”
Kemudian dia menemui wanita penenun yang pertama dan bertanya kepadanya,
“Bagaimana kamu bisa mempunyai kaki yang begitu lebar dan rata?”
“Saya selalu menapakkan kaki saya pada alat tenun,” katanya.
Ketika dia menemui wanita yang kedua dan bertanya,
“Bagaimana kamu bisa mempunyai bibir yang bergantungan sampai ke dagumu?”
“Dengan menjilati benang.” katanya,
Dan kemudian dia bertanya kepada wanita yang ketiga,
“Bagaimana kamu bisa mempunyai ibu jari yang sangat besar dan lebar?”
“Dengan memuntir dan memilin benang,” katanya.
Kemudian mempelai pria berkata bahwa semenjak saat itu, sang gadis yang menjadi istrinya ini harus berhenti untuk menenun dan jangan pernah menyentuh alat tenun lagi.
Dan begitulah akhirnya sang gadis lepas dari pekerjaan menenun yang melelahkan.

Katak dan Permata (Charles Perrault)

Pada suatu masa, ada seorang wanita yang telah menjanda dan memiliki dua orang putri. Putri tertua memiliki wajah dan perangai yang sangat mirip dengan ibunya sehingga orang sering berkata bahwa siapapun yang melihat putri tertua tersebut, sama dengan melihat ibunya. Mereka berdua mempunyai sifat jelek yang sama, sangat sombong dan tidak pernah menghargai orang lain.
Putri yang termuda, merupakan gambaran dari ayahnya yang telah meninggal, sama-sama memiliki sifat baik hati, senang membantu orang dan sangat sopan. Banyak yang menganggap bahwa putri termuda adalah wanita yang tercantik yang pernah mereka lihat.
Karena kecenderungan orang untuk menyukai hal yang sama dengan diri mereka, ibunya menjadi sangat sayang kepada putri yang tertua, sedangkan putri yang termuda diperlakukan dengan buruk, putri termuda sering disuruhnya bekerja tanpa henti dan tidak boleh bersama mereka makan di meja makan. Dia hanya diperbolehkan makan di ruang dapur sendiri saja.
Putri yang termuda sering dipaksa dua kali sehari untuk mengambil air  dari sumur yang letaknya sangat jauh dari rumah mereka. Suatu hari ketika putri yang termuda berada di mata air ini, datanglah seorang wanita tua yang kelihatan sangat miskin, yang memintanya untuk mengambilkan dirinya air minum.
"Oh! ya, dengan senang hati," kata gadis cantik ini yang dengan segera mengambil kendinya, mengambil air dari tempat yang paling jernih di mata air tersebut, dan memberikan kepada wanita itu, sambil membantu memegang kendinya agar wanita tua itu dapat minum dengan mudah.
Setelah minum, wanita tersebut berkata kepada putri termuda:
"Kamu sangat cantik, sangat baik budi dan sangat sopan, saya tidak bisa tidak memberikan kamu hadiah." Ternyata wanita tua tersebut adalah seorang peri yang menyamar menjadi wanita tua yang miskin untuk melihat seberapa jauh kebaikan hati dan kesopanan putri termuda. "Saya akan memberikan kamu sebuah hadiah," lanjut sang Peri, "Mulai saat ini, dari setiap kata yang kamu ucapkan, dari mulutmu akan keluar sebuah bunga atau sebuah batu berharga."
Ketika putri termuda yang cantik ini pulang kerumah, dimana saat itu ibunya memarahinya karena menganggap putri termuda tersebut terlalu lama kembali dari mengambil air.
"Saya minta maaf, mama," kata putri termuda, "karena saya terlambat pulang."
Saat mengucapkan kata itu, dari mulutnya keluarlah dua buah bunga, dua buah mutiara dan dua buah permata.
"Apa yang saya lihat itu?" kata ibunya dengan sangat terkejut, "Saya melihat mutiara dan permata keluar dari mulutmu! Bagaimana hal ini bisa terjadi, anakku?"
Untuk pertama kalinya ibunya memanggilnya dengan sebutan 'anakku'.
Putri termuda kemudian menceritakan semua kejadian yang dialami secara terus terang, dan dari mulutnya juga berturut-turut keluarlah permata yang tidak terhitung jumlahnya.
"Sungguh mengagumkan," kata ibunya, "Saya harus mengirim anakku yang satu lagi kesana." Dia lalu memanggil putri tertua dan berkata "Kemarilah, lihat apa yang keluar dari mulut adikmu ketika dia berbicara. Apakah kamu tidak ingin memiliki hal yang dimiliki adikmu? Kamu harus segera berangkat ke mata air tersebut dan apabila kamu menemui wanita tua yang meminta kamu untuk mengambilkan air minum, ambilkanlah untuknya dengan cara yang sangat sopan."
"Adik termuda pasti sangat senang melihat saya mengambil air dari mata air yang jauh," katanya dengan cemberut.
"Kamu harus pergi, sekarang juga!" kata ibunya lagi.
Akhirnya putri tertua berangkat juga sambil mengomel di perjalanan,  sambil membawa kendi terbaik yang terbuat dari perak.
Tidak lama kemudian dia tiba di mata air tersebut, kemudian dia melihat seorang wanita yang berpakaian sangat mewah keluar dari dalam hutan, mendekatinya, dan memintanya untuk mengambilkan air minum. Wanita ini sebenarnya adalah peri yang bertemu dengan adiknya, tetapi kali ini peri tersebut menyamar menjadi seorang putri bangsawan.
"Apakah saya datang kesini," kata putri tertua dengan sangat sombong, "hanya untuk memberikan kamu air? dan kamu pikir saya membawa kendi perak ini untuk kamu? Kalau kamu memang mau minum, kamu boleh meminumnya jika kamu merasa pantas."
"Kamu keterlaluan dan berlaku tidak sopan," jawab sang Peri, "Baiklah, mulai sekarang, karena kamu sangat tidak sopan dan sombong, saya akan memberikan kamu hadiah, dari setiap kata yang kamu ucapkan, dari mulutmu akan keluar seekor ular atau seekor katak."
Saat dia pulang, ibunya yang melihat kedatangannya dengan gembira menyambutnya dan bertanya:
"Bagaimana, anakku?"
"Bagaimana apanya, ma?" putri tertua menjawab dengan  cara yang tidak sopan, dan dari mulutnya keluarlah dua ekor ular berbisa dan dua ekor katak.
"Oh! ampun," kata ibunya; "apa yang saya lihat ini? Oh! pastilah adik mu yang sengaja telah merencanakan kejadian ini,  tapi dia akan mendapatkan hukumannya"; dan dengan segera dia berlari mendekati putri termudanya dan memukulnya. Putri termuda kemudian lari menjauh darinya dan bersembunyi di dalam hutan yang tidak jauh dari rumahnya agar tidak mendapat pukulan lagi.
Seorang anak Raja, yang baru kembali dari berburu di hutan, secara kebetulan bertemu dengan putri termuda yang sedang menangis. Anak Raja tersebut kagum akan kecantikan putri termuda kemudian bertanya mengapa putri tersebut sendirian di dalam hutan dan menangis terisak-isak.
"Tuanku, ibu saya telah mengusir saya dari rumah."
Saat itu, anak Raja melihat lima atau enam mutiara dan permata keluar dari mulut putri termuda, dia menjadi penasaran dan meminta putri termuda menceritakan mengapa dari mulutnya keluar permata saat berkata sesuatu. Putri termuda kemudian menceritakan semua kisahnya, dan anak Raja tersebut menjadi bertambah kagum akan kebaikan hati dan kesopanan tutur kata putri termuda. Anak Raja menjadi jatuh hati pada putri termuda dan beranggapan bahwa putri termuda sangat pantas menjadi istrinya. Anak Raja akhirnya mengajukan lamaran dan menikahi putri termuda.
Sedangkan putri tertua, membuat dirinya sendiri begitu dibenci oleh ibunya sendiri karena kelakuannya yang sangat buruk dan di usir keluar dari rumah. Putri tertua akhirnya menjadi terlantar karena tidak memiliki rumah lagi, dia lalu masuk ke dalam hutan dan mulai saat itu, orang tidak pernah mendengar kabar tentangnya lagi.

Si Pelit (aesop)

Seorang yang sangat pelit mengubur emasnya secara diam-diam di tempat yang dirahasiakannya di tamannya. Setiap hari dia pergi ke tempat dimana dia mengubur emasnya, menggalinya dan menghitungnya kembali satu-persatu untuk memastikan bahwa tidak ada emasnya yang hilang. Dia sangat sering melakukan hal itu sehingga seorang pencuri yang mengawasinya, dapat menebak apa yang disembunyikan oleh si Pelit itu dan suatu malam, dengan diam-diam pencuri itu menggali harta karun tersebut dan membawanya pergi.
Ketika si Pelit menyadari kehilangan hartanya, dia menjadi sangat sedih dan putus asa. Dia mengerang-erang sambil menarik-narik rambutnya.
Satu orang pengembara kebetulan lewat di tempat itu mendengarnya menangis dan bertanya apa saja yang terjadi.

"Emasku! oh.. emasku!" kata si Pelit, "seseorang telah merampok saya!"

"Emasmu! di dalam lubang itu? Mengapa kamu menyimpannya disana? Mengapa emas tersebut tidak kamu simpan di dalam rumah dimana kamu dapat dengan mudah mengambilnya saat kamu ingin membeli sesuatu?"
"Membeli sesuatu?" teriak si Pelit dengan marah. "Saya tidak akan membeli sesuatu dengan emas itu. Saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbelanja sesuatu dengan emas itu." teriaknya lagi dengan marah.
Pengembara itu kemudian mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang harta karun yang telah kosong itu.
"Kalau begitu," katanya lagi, "tutup dan kuburkan batu itu, nilainya sama dengan hartamu yang telah hilang!"


Pesan Moral: Harta yang kita miliki sama nilainya dengan kegunaan harta tersebut.

Putri Kaguya (Jepang)

Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang kakek dan nenek yang miskin. Mereka hanya hidup berdua dan tidak mempunyai seorang anak pun. Pekerjaan sehari-hari mereka adalah membuat keranjang dari bambu. Karena itu hampir setiap hari kakek pergi ke hutan untuk memotong beberapa batang bambu. Bambu itu kemudian dibelah untuk dijadikan bahan pembuat keranjang.
Suatu hari sang kakek sedang pergi ke hutan bambu untuk memotong bambu. Saat ia memilih-milih bambu, tiba-tiba ia melihat sebatang pohon bambu yang bersinar keemasan. Pohon bambu tersebut seakan-akan meminta kakek agar segera menebangnya. Kakek pun memotong pohon bambu itu.
 Betapa terkejut hatinya setelah memotong sebuah bambu karena dari dalamnya muncul sinar keemasan. “Apa ini ya?” tanya kakek dalam hati. Lalu didekatinya batang bambu yang mengeluarkan sinar keemasan itu. Ternyata dari dalam batang bambu tersebut terdapat seorang bayi perempuan yang mungil. Dengan gembira kakek membawa bayi itu pulang ke rumah. Kakek dan nenek merawat bayi perempuan itu dengan penuh kasih sayang. Mereka menamakannya Kaguya.
Sejak saat itu setiap kali kakek ke hutan untuk memotong bambu, ia selalu menemukan sebatang pohon bambu yang bersinar keemasan. Setelah dipotongnya ternyata batang bambu tersebut berisi uang emas. Dengan uang emas itu mereka tidak perlu lagi bekerja keras. Mereka hidup berkecukupan dalam membesarkan putri mereka.
 Kaguya tumbuh menjadi seorang putri yang sangat cantik jelita. Rambutnya hitam bersinar, kulitnya kuning keemasan, dan wajahnya pun seakan-akan mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mata. Berita tentang kecantikannya tersiar ke seluruh penjuru negeri. Setiap hari datang berbagai macam pria yang ingin meminangnya. Tetapi sang putri selalu menolaknya. Suatu hari datanglah lima orang yang ingin meminang sang putri. Sang putri memberikan lima buah syarat yang sangat berat kepada mereka.
Pria pertama bertugas mencarikan mangkuk asli sang Budha yang dapat mengeluarkan cahaya kemilauan. Pria kedua bertugas mencarikan bunga Azaela emas dan perak seperti dalam legenda. Pria ketiga bertugas mencarikan tikus api dari China. Pria keempat bertugas mencarikan permata naga yang berwarna-warni. Sedangkan pria kelima bertugas mencarikan kerang laut burung walet.
Namun setelah ditunggu beberapa waktu lamanya, kelima pria itu datang dengan membawa benda-benda palsu semua. Pria pertama membawa mangkuk biasa yang tidak mengeluarkan sinar sama sekali. Pria kedua datang dengan membawa tanaman bunga Azaela dengan sepuhan emas dan perak. Pria ketiga membawakan tikus-tikus yang bulunya diwarna dengan pewarna merah. Pria keempat membawakan batu permata biasa. Sedangkan pria kelima juga hanya membawakan kerang yang ia temukan di pantai. Akhirnya kelima pria itu tidak satupun yang berhasil meminang sang putri. Mereka pulang ke negerinya masing-masing dengan kecewa.
 Suatu hari di musim gugur, dengan mata berkaca-kaca sang putri menatap cahaya bulan di langit.
“Putriku, apa yang sedang kau pikirkan?” tanya kakek dan nenek dengan khawatir.
“Kakek, Nenek, saat ini saya sedang sedih. Saya sebenarnya berasal dari negeri Bulan. Tanggal 15 bulan ini saya akan dijemput untuk kembali pulang ke negeri saya” kata sang putri dengan berlinang air mata.
Mendengar penjelasan sang putri, betapa sedih hati kakek dan nenek. Mereka tidak ingin kehilangan putrinya. Maka mereka melaporkan kepada penguasa daerah setempat agar mengirimkan pasukannya untuk menjaga sang putri.
Akhirnya, pada tanggal 15, ketika bulan sedang bersinar dengan terang, rumah sang putri dijaga oleh berpuluh-puluh samurai yang bersenjatakan panah dan tombak. Mereka berdiri di atap rumah dan sekeliling rumah sang putri. Ketika tepat tengah malam, tiba-tiba dari arah bulan purnama muncullah sebuah kereta yang bersinar terang. Saat pasukan panah sedang bersiap-siap mengarahkan anak panahnya ke atas, tiba-tiba cahaya menyilaukan terpancar dari kereta tersebut. Mata para samurai tidak bisa melihat dengan jelas. Pada saat itu seorang putri dari kereta tersebut turun dan menjemput Putri Kaguya dari dalam rumah.
Sebelum meninggalkan kakek dan neneknya, sang putri berpesan, “Kakek, Nenek! Jagalah kesehatan kalian. Terima kasih banyak atas kasih sayang kalian selama ini. Aku akan selalu merindukan kalian. Selamat tinggal!” 
Putri Kaguya pun akhirnya terbang ke angkasa tanpa dapat dihalangi lagi. Kakek dan nenek sangat sedih melihat putri mereka satu-satunya meninggalkannya.


Tujuh Burung Gagak (Grimm Bersaudara)

Dahulukala, ada seorang laki-laki yang memiliki tujuh orang anak laki-laki, dan laki-laki tersebut belum memiliki anak perempuan yang lama diidam-idamkannya. Seiring dengan berjalannya waktu, istrinya akhirnya melahirkan seorang anak perempuan. Laki-laki tersebut sangat gembira, tetapi anak perempuan yang baru lahir itu sangat kecil dan sering sakit-sakitan. Seorang tabib memberitahu laki-laki tersebut agar mengambil air yang ada pada suatu sumur dan memandikan anak perempuannya yang sakit-sakitan dengan air dari sumur itu agar anak tersebut memperoleh berkah dan kesehatan yang baik. Sang ayah lalu menyuruh salah seorang anak laki-lakinya untuk mengambil air dari sumur tersebut. Enam orang anak laki-laki lainnya ingin ikut untuk mengambil air dan masing-masing anak laki-laki itu sangat ingin untuk mendapatkan air tersebut terlebih dahulu karena rasa sayangnya terhadap adik perempuan satu-satunya. Ketika mereka tiba di sumur dan semua berusaha untuk mengisi kendi yang diberikan kepada mereka, kendi tersebut jatuh ke dalam sumur. Ketujuh anak laki-laki tersebut hanya terdiam dan tidak tahu harus melakukan apa untuk mengambil kendi yang jatuh, dan tak satupun dari mereka berani untuk pulang kerumahnya.
Ayahnya yang menunggu di rumah akhirnya hilang kesabarannya dan berkata, "Mereka pasti lupa karena bermain-main, anak nakal!" Karena takut anak perempuannya bertambah sakit, dia lalu berteriak marah, "Saya berharap anak laki-lakiku semua berubah menjadi burung gagak." Saat kata itu keluar dari mulutnya, dia mendengar kepakan sayap yang terbang di udara, sang Ayah lalu keluar dan melihat tujuh ekor burung gagak hitam terbang menjauh. Sang Ayah menjadi sangat menyesal karena mengeluarkan kata-kata kutukan dan tidak tahu bagaimana membatalkan kutukan itu. Tetapi walaupun kehilangan tujuh orang anak laki-lakinya, sang Ayah dan Ibu masih mendapatkan penghiburan karena kesehatan anak perempuannya berangsur-angsur membaik dan akhirnya anak perempuan tersebut tumbuh menjadi gadis yang cantik.
Gadis itu tidak pernah mengetahui bahwa dia mempunyai tujuh orang kakak laki-laki karena orangtuanya tidak pernah memberitahu dia, sampai suatu hari secara tidak sengaja gadis tersebut mendengar percakapan beberapa orang, "Gadis tersebut memang sangat cantik, tetapi gadis tersebut harus disalahkan karena mengakibatkan nasib buruk pada ketujuh saudaranya." Gadis tersebut menjadi sangat sedih dan bertanya kepada orangtuanya tentang ketujuh saudaranya. Akhirnya orangtuanya menceritakan semua kejadian yang menimpa ketujuh saudara gadis itu. Sang Gadis menjadi sangat sedih dan bertekad untuk mencari ketujuh saudaranya secara diam-diam. Dia tidak membawa apapun kecuali sebuah cincin kecil milik orangtuanya, sebuah roti untuk menahan lapar dan sedikit air untuk menahan haus.
Gadis tersebut berjalan terus, terus sampai ke ujung dunia. Dia menemui matahari, tetapi matahari terlalu panas, lalu dia kemudian menemui bulan, tetapi bulan terlalu dingin, lalu dia menemui bintang-bintang yang ramah kepadanya. Saat bintang fajar muncul, bintang tersebut memberikan dia sebuah tulang ayam dan berkata, "Kamu harus menggunakan tulang ini sebagai kunci untuk membuka gunung yang terbuat dari gelas, disana kamu akan dapat menemukan saudara-saudaramu.
Gadis tersebut kemudian mengambil tulang tersebut, menyimpannya dengan hati-hati di pakaiannya dan pergi ke arah gunung yang di tunjuk oleh bintang fajar. Ketika dia telah tiba di gunung tersebut, dia baru sadar bahwa tulang untuk membuka kunci gerbang gunung telah hilang. Karena dia berharap untuk menolong ketujuh saudaranya, maka sang Gadis lalu mengambil sebilah pisau, memotong jari kelinkingnya dan meletakkannya di depan pintu gerbang. Pintu tersebut kemudian terbuka dan sang Gadis dapat masuk kedalam, dimana seorang kerdil menemuinya dan bertanya kepadanya, "Anakku, apa yang kamu cari?" "Saya mencari tujuh saudaraku, tujuh burung gagak," balas sang Gadis. Orang kerdil tersebut lalu berkata, "Tuanku belum pulang ke rumah, jika kamu ingin menemuinya, silahkan masuk dan kamu boleh menunggunya di sini." Lalu orang kerdil tersebut menyiapkan makan siang pada tujuh piring kecil untuk ketujuh saudara laki-laki sang Gadis yang telah menjadi burung gagak. Karena lapar, sang Gadis mengambil dan memakan sedikit makanan yang ada pada tiap-tiap piring dan minum sedikit dari tiap-tiap gelas kecil yang ada. Tetapi pada gelas yang terakhir, dia menjatuhkan cincin milik orangtuanya yang dibawa bersamanya.
 Tiba-tiba dia mendengar kepakan sayap burung di udara, dan saat itu orang kerdil itu berkata, "Sekarang tuanku sudah datang." Saat ketujuh burung gagak akan mulai makan, mereka menyadari bahwa seseorang telah memakan sedikit makanan dari piring mereka. "Siapa yang telah memakan makananku, dan meminum minumanku?" kata salah satunya. Saat burung gagak yang terakhir minum dari gelasnya, sebuah cincin masuk ke mulutnya dan ketika burung tersebut memperhatikan cincin tersebut, burung gagak tersebut berkata, "Diberkatilah kita, saudara perempuan kita yang tersayang mungkin ada disini, inilah saatnya kita bisa terbebas dari kutukan." Sang Gadis yang berdiri di belakang pintu mendengar perkataan mereka, akhirnya maju kedepan dan saat itu pula, ketujuh burung gagak berubah kembali menjadi manusia. Mereka akhirnya berpelukan dan pulang bersama ke rumah mereka dengan bahagia.

Anak Gembala dan Serigala (Aesop)

Dahulu kala di sebuah desa hiduplah seorang anak gembala yang setiap hari kerjanya sibuk mengembalakan domba-domba milik orang tuanya. Setiap pagi dia harus membawa domba-dombanya itu ke tengah-tengah padang rumput untuk makan. Sambil menunggu domba-dombanya makan, anak gembala itu duduk di bawah pohon untuk berteduh karena udara siang yang sangat panas. Terkadang bocah gembala itu duduk meniup seruling atau hanya sekedar bermalas-malasan sambil menunggu dombanya selesai makan. Suatu hari, ketika anak gembala itu sedang duduk di bawah sebuah pohon yang rindang, tiba-tiba ia merasa bosan dan jenuh. Anak gembala itu berpikir “Alangkah menyenangkannya jika aku tak perlu lagi menggembalakan domba-domba ini. Aku dapat bermain sepanjang hari,” katanya dalam hati. Ketika sedang asyik melamun, tiba-tiba anak gembala itu mendapat ide untuk mempermainkan orang-orang di desa. Dia pun segera berteriak, “Tolong! Tolong! Ada serigala! Tolongg!”
Mendengar teriakan itu, bergegaslah seluruh penduduk desa untuk segera menolong anak gembala itu. Mereka berlari sambil membawa alat-alat seadanya untuk mengusir kawanan serigala yang akan menyerang bocah gembala itu. Ketika mereka tiba dan menemui anak gembala itu, mereka pun merasa bingung karena tidak mendapati serigala disana. Salah seorang diantara penduduk desa itu lalu bertanya kepada bocah gembala “Di mana serigala itu?, kami tidak melihatnya.” Anak gembala pun tertawa keras, “Ha, Ha, Ha! Kalian semua telah tertipu, aku hanya ingin mempermainkan kalian semua” katanya sambil tertawa-tawa. Seluruh penduduk desa menjadi marah kepadanya. Merekapun kembali ke desa sambil bersungut-sungut. Sedangkan anak gembala itu kembali melanjutkan menggembalakan domba-dombanya sambil tertawa riang.
Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian itu. Anak gembala yang nakal itu memutuskan untuk mempermainkan kembali penduduk desa setempat. Dengan penuh semangat dia membawa domba-dombanya ke tengah padang kemudian dia pergi ke ujung bukit terdekat dengan desa lalu sekali lagi ia berteriak, “Tolong! Tolong! Ada serigala! Tolongg! Ada Serigala!” serunya sambil menaha tawa. Mendengar jeritan itu, sekali lagi warga desa bergegas lari ke atas bukit untuk membantu anak gembala itu. Ketika mereka tiba di padang, mereka sangat murka melihat anak gembala itu sedang tertawa sambil berguling-guling di tanah. Sadarlah mereka kalau mereka telah tertipu untuk kedua kalinya. Mereka pun bergegas untuk pulang dan bertekad tidak akan kena tipu untuk ketiga kalinya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali anak gembala itu pergi ke kandang untuk membawa kembali domba-dombanya tengah padang rumput untuk makan agar mereka dapat makan. Setelah tiba di padang rumput, anak gembala itu duduk di bawah pohon yang rindang untuk beristirahat. Karena udara yang sejuk disertai angin sepoi-sepoi, merasa mengantuklah anak gembala itu, lalu tertidur.
Di kejauhan, tampaklan sekawanan serigala yang sedang berjalan menuju ke tengah padang tempat kawanan domba sedang makan dan beristirahat. Serigala yang lapar itu segera menyerang seekor domba yang sedang makan rumput. Kejadian ini membuat kawanan domba segera berlari tak menentu untuk menyelamatkan diri dari terkaman serigala-serigala buas. Karena suara gaduh domba, terbangunlah anak gembala itu lalu terkejut karena melihat sekawanan serigala sedang mengejar domba-dombanya yang berlari ketakutan. Kemudian dia segera menjerit untuk meminta pertolongan “Tolong! Tolong! Ada serigala! Tolongg! Ada Serigala!” jeritnya. Tetapi tidak ada seorangpun yang datang untuk menolongnya. Anak gembala itupun segera berlari menuju desa sambil terus berteriak, “Tolong! Tolong! Ada serigala! Tolongg! Ada Serigala!” jeritnya sambil terengah-engah.
 Penduduk desa yang mendengar teriakan itu tertawa, mereka pikir pastilah semua hanya akal-akalan anak gembala saja untuk mempermainkan mereka kembali. Ketika anak gembala itu tiba di desa, dia pun berkata, “Ada sekawanan serigala telah menyerang domba-dombaku di padang. Dulu aku memang telah berbohong kepada kalian, tetapi kali ini memang benar terjadi!” katanya dengan wajah ketakutan.
Melihat keseriusannya, akhirnya para penduduk desa memutuskan untuk pergi ke padang dan menyelamatkan kawanan domba milik anak gembala tadi. Sesampainya mereka di padang, mereka melihat sekawanan serigala sedang berpesta karena berhasil menangkap seekor domba. Segera mereka mengusir serigala-serigala itu dengan peralatan seadanya yang mereka bawa.
Pesan moral dari cerita ini, berhati-hatilah didalam pergaulan hidup ini, ada peluang untuk berbuat yang tidak baik untuk mencapai keinginan kita, salah satunya adalah degan berbohong. Apabila kebohongan seorang pendusta terungkap, sulit rasanya bagi orang lain mempercayainya lagi. Sekalipun apa yang dikatakan pendusta itu adalah sebuah kebenaran.

Itik Buruk Rupa ( Hans Christian Andersen )

Dahulu kala, adalah sekelompok bebek yang tinggal di tepi sungai. Mereka terdiri terdiri dari Pak Bebek, Ibu Bebek, dan telur-telur bebek yang sedang dierami oleh Ibu Bebek. Suatu hari telur-telur itu menetas satu persatu. Pak Bebek senang bukan main, Ibu Bebek pun demikian. Sambil memperhatikan telur-telur yang menetas satu persatu, ia pun tersenyum dan memeluk satu persatu anak bebek yang sudah lahir itu. Namun pada telur yang terakhir menetas, yang keluar bentuknya sangat berbeda dengan saudara-saudaranya. Bila Ibu dan Pak Bebek berwarna kuning keemasan dan berparuh oranye serta berbunyi “Kweek..kweek..” maka anak bebek yang terakhir ini berbulu kehitaman dan berparuh kecoklatan, wajahnya tidak secantik saudara-saudaranya, dan suaranya pun berbeda, “Ooork..ooork…”

Pak dan Ibu bebek pun bertengkar hebat. Pak bebek merasa anak itu adalah hasil perselingkuhan Ibu bebek dengan mahluk lain, sedangkan Ibu bebek tidak terima dituduh seperti itu. Pak bebek pun pergi meninggalkan Ibu bebek. Sementara itu si bebek kecil yang buruk rupa tadi pun diejek oleh saudara-saudaranya yang lain.
 Namun demikian, si bebek kecil yang buruk rupa itu tetap mengikuti kemanapun induknya pergi, walaupun induknya tidak pernah sekalipun memperhatikannya. Semakin besar, semakin berbedalah dia dengan saudara-saudaranya yang lain, dan hal ini sangat memalukan bagi Ibu bebek. Apalagi si bebek buruk rupa ini ternyata tidak bisa berenag sebaik saudara-saudaranya yang lain. Pada suatu hari, saat sedang berenang bersama Ibu dan saudara-saudaranya, sang bebek buruk rupa ini tertinggal jauh di belakang.. Ia kemudian memanggil-manggil ibunya dengan suaranya yang jelek itu, namun tidak ada sahutan..
Akhirnya ia pun berenang menyusuri sungai untuk mencari keluarganya kembali, berhari-hari ia lalui tanpa menyerah, hujan angin ia terpa tanpa kenal lelah, hingga akhirnya ia benar-benar putus asa dan menangis sedih di sudut sungai… Tangisannya begitu meyayat hati, ia masih begitu kecil, belum mengerti mengapa ibunya meninggalkannya dan tidak pernah sayang padanya, padahal ia anaknya.. mengapa langit begitu kejam padanya… mengapa… tangisnya..
Tak lama, datanglah dua ekor bebek yang ajaibnya, sama buruknya dengan bebek buruk rupa itu, bahkan suaranya pun juga sama! Mereka mendatangi bebek kecil yang sedang menangis itu dan menghiburnya. Tak lama, datanglah induk mereka yang mencari kedua anaknya yang tiba-tiba menghilang, dan terlihatlah oleh bebek buruk rupa itu seekor angsa yang sangat cantik.. lehernya panjang… dan wajahnya menyiratkan kasih dan sayang…

Begitu melihat bebek buruk rupa itu, ia pun bertanya padanya:
“Wahai mahluk kecil,mengapa engkau menangis?”
“Saya kehilangan induk saya…” jawab si bebek sambil menangis.. “Induk saya tidak mau saya lagi..karena saya berbeda dengan saudara-saudara saya.. mereka cantik-cantik dan pandai berenang seperti saudara-saudara saya yang lain.. waktu baru lahir, saya sudah dibenci oleh ibu saya, karena saya tidak seperti mereka…dia tidak pernah menyayangi saya… katanya saya bukanlah anaknya…karena bulu saya tidak kuning keemasan seperti mereka… paruh saya tidak sama warnanya dengan mereka.. dan suara saya sangat jelek…Ibu selalu berkata bahwa saya adalah bebek yang salah lahir..”
“Wahai mahluk kecil, jangan menangis… memang benar kata Ibu kamu, kamu berbeda dengan saudara-saudaramu yang lain.. mereka memiliki apa yang tidak kamu miliki…dan sebaliknya kamu juga memiliki apa yang tidak mereka miliki…
Nah, sekarang lihatlah air yang mengalir di bawahmu, pandanglah wajahmu… lihatlah persamaan antara dirimu dan anak-anakku…”
Sang itik pun melihat pantulan dirinya sendiri di air dan mendapati bahwa dirinya ternyata sama dengan kedua anak itik tersebut…
“Ya… kamu bukanlah anak bebek… kamu adalah anak itik… memang saat ini rupamu buruk, tetapi aku yakin kelak kamu akan menjadi secantik aku… kemarilah nak, anggaplah aku ini Ibumu…”
Sang itik kecil itupun mendekati induk Angsa yang cantik dan merasakan kehangatan dibawah pelukan sayapnya yang penuh dengan kasih… ia pun tak lagi bersedih…
Kemudian sang itik kecil pun ikut bersama dengan induk angsa kemanapun mereka berenang, sekarang sebagai itik yang bangga, karena ia mempunyai keluarga yang menyayanginya… dan pada suatu kesempatan, ia berpapasan dengan keluarga bebek yang pernah membencinya, ia pun berasa bangga saat melewati mereka… dan anak-anak bebek itupun hanya terbengong-bengong saja melihatnya…


dikutip dr : http://www.indocina.net/