Dahulu kala, hidup sepasang suami isteri di sebuah rumah
kecil. Adik lelaki sang suami juga tinggal bersama mereka.
Pada suatu hari sang isteri berkata, “Adikmu sudah dewasa. Sudah
waktunya menikah. Berikan saja setengah harta kita dan suruh dia mencari tempat
tinggal sendiri.” Suaminya tidak tega menyuruh adiknya pergi, tapi isterinya
mendesaknya terus. Akhirnya ia setuju.
Esok harinya , ia menyuruh adiknya memakai pakaian baru
lalu mengajaknya berjalan-jalan. Mereka berjalan mendaki bukit dan ketika tiba di hutan, sang
kakak memberikan sejumlah uang dan mengatakan bahwa sudah waktunya sang adik
memulai hidup sendiri. Walaupun sedih, sang kakak menyuruh adiknya pergi dan ia
sendiri pulang ke rumahnya.
Sang adik terus berjalan walaupun ia tidak punya tujuan.
Malam tiba. Ia melihat sebuah gubuk. Ia meminta ijin kepada pemburu
pemilik gubuk itu untuk tinggal semalam. Malam itu, pemuda itu melihat seekor
landak terikat pada tiang. Landak itu terus memandanginya.
“Tuan,” katanya kepada pemburu, “Mengapa kau mengikat landak itu
di tiang?”
“Aku akan mengambil kulitnya dan memakan dagingnya.”
“Tapi tuan, lihatlah, landak itu sedih sekali. Tolong lepaskan
dia.”
“Aku lelah sekali berburu hari ini, dan hanya landak itu yang
kudapat. Tidak, aku tak mau melepaskannya.”
“Kalau begitu, biarlah aku membelinya!” kata pemuda itu sambil
menunjukkan uang pemberian kakaknya.
Pemburu menjual landak itu kepada pemuda itu.
Pemuda itu membawa landak pergi. Setelah cukup jauh dari gubuk pemburu, ia
melepaskan tali pengikat landak dan berkata. “Pergilah jauh-jauh. Kalau
kau tertangkap lagi, belum tentu ada yang menolongmu.”
Landak itu memandangi sang pemuda lama sekali. Lalu ia pergi ke
semak-semak dan menghilang. Tiba-tiba terdengar
suara gemerisik dan ilalang di dekatnya bergerak-gerak. Alangkah terkejutnya
pemuda itu, seorang gadis muda muncul. Gadis itu cantik sekali. Ia membawa
sehelai selimut tebal.
“Tuan,” kata gadis itu, “Kau tentu kedinginan.” Ia memberikan
selimut yang dibawanya kepada pemuda itu.
“Terima kasih, Nona. Kau baik sekali,” kata pemuda.
“Apakah kau tidak punya rumah?” tanya gadis itu.
“Tentu saja aku punya rumah.”
“Lalu mengapa kau ada di sini?”
Pemuda itu menceritakan perpisahannya dengan kakaknya.
“Apakah kau tidak rindu kepada rumahmu?” tanya gadis itu.
"Aku rindu kepada kakakku, tapi aku tidak berani kembali ke
rumah."
“Jangan kuatir, aku akan membawamu ke rumahmu sendiri. Tapi kau
harus menikahiku dulu.”
Walaupun agak bingung, pemuda itu setuju. Malam itu mereka
mengucapkan sumpah pernikahan dan menjadi pasangan suami isteri.
Esoknya, pagi-pagi sekali, wanita muda itu berkata,
“Tutuplah punggungku dengan selimut itu. Lalu naiklah ke punggungku.
Berpeganganlah erat-erat dan tutup matamu sampai aku menyuruhmu membukanya.”
Suaminya mengikuti semua perkataan sang isteri. Dan pemuda
itu merasa ia sedang terbang. Angin bertiup kencang di telinganya. Tapi dengan
patuh ia tetap menutup kedua matanya. Akhirnya, ia mendengar isterinya berkata, “Sekarang kau boleh
membuka matamu.” Pemuda itu membuka matanya dan melihat mereka berada di tepi
desanya sendiri.
“Suamiku,” kata sang isteri, “Jangan kembali ke rumah kakakmu
dulu, ayo kita mencari tempat tinggal kita sendiri.”
Pemuda itu mengajak isterinya ke sebuah kedai. Ia
mengenal pemilik kedai itu. Ia mengenalkan isterinya kepada pemilik kedai dan
mereka bercakap-cakap.
“Paman,” kata wanita muda itu, “Kami ingin menetap di desa ini.
Dapatkah paman mencarikan sebidang tanah yang akan dijual?’
“Baiklah, aku akan mencarikan tanah yang baik untukmu,” kata
paman.
Esok harinya, paman menunjukkan sebidang tanah yang akan
dijual, tapi pemiliknya memasang harga yang sangat tinggi. “Kalau kalian sabar,
aku akan mencarikan tanah yang lain,” kata paman.
Tapi wanita muda itu berkata, “Tidak usah, paman. Kami punya
cukup uang untuk membeli tanah itu.” Wanita itu mengeluarkan uang dan meminta
suaminya membeli tanah itu.
Malam itu suami isteri itu melihat tanah yang baru mereka
beli. Sang isteri mencabut jepit rambutnya dan membuat gambar rumah di
tanah. Ketika ia menarik kembali jepit rambutnya, terdengar suara gemuruh dan
bumi bergetar. Sekarang di depan mereka berdiri sebuah rumah besar yang indah
dan megah.
“Ini rumah kita,” kata sang isteri, “ Ayo kita masuk.”
Rumah itu sudah lengkap dengan perabotan yang indah.
Di belakang rumah ada gudang besar yang penuh bahan makanan . Di
sampingnya berdiri sebuah kandang berisi belasan kuda. Mereka tinggal di sana
dengan tenang dan bahagia.
Tiga tahun berlalu. Pada suatu hari, sang isteri berkata
kepada suaminya. “Kita sudah lama menikah, tapi kita tidak dikaruniai anak.
Kurasa kau harus mengambil seorang isteri lagi.”
Suaminya tidak setuju. “Aku bahagia hidup denganmu, walaupun
kita tidak punya anak.”
“Kau tidak mengerti,” kata isterinya. “Aku tak akan lama hidup
bersamamu.”
Wanita itu kemudian menjelaskan bahwa ia adalah landak
yang dulu diselamatkan pemuda itu dari pemburu. Ia mengubah dirinya
menjadi manusia untuk membalas budi. Ia mendesak suaminya untuk mencari calon
isteri. Pemuda itu pergi mencari calon isteri yang baik. Ia telah bertemu
banyak sekali gadis namun tak ada yang menurutnya sebaik gadis landak,
isterinya.
Pada suatu hari ia melihat seorang gadis yang menarik
hatinya. Pemuda itu menemui ayah sang gadis untuk melamar. Ayah gadis itu
seorang pedagang kaya. Ia setuju anak gadisnya dipersunting sang pemuda,
dengan satu syarat. Ia minta pemuda membawa tujuh kereta penuh uang perak. Pemuda itu kembali ke rumahnya dan
menceritakan perjalanannya hingga menemukan seorang gadis. Ia menjelaskan syarat
yang diminta ayah gadis itu. “Hanya itu syaratnya?” tanya gadis landak.
Esok harinya gadis landak meminta suaminya pergi ke rumah
calon isteri barunya. Di halaman rumah sudah menunggu tujuh kereta lengkap
dengan kuda dan kusir. Setelah menikah dengan puteri pedagang, pemuda itu
membawa isteri barunya pulang. Mereka disambut hangat oleh gadis landak.
Esok harinya, gadis landak sudah tidak ada. Pemuda itu tidak
pernah lagi melihat isteri pertamanya. Setahun kemudian, isteri keduanya
melahirkan sepasang anak kembar seperti yang diinginkan gadis landak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar