Kamis, 17 Oktober 2013

Si Janggut Biru ( Charles Perrault )


          Dahulu kala seorang lelaki kaya, diberi julukan ‘Janggut Biru’ tinggal di istana besar di tengah hutan. Suatu hari ia berkunjung ke keluarga yang mempunyai tiga gadis remaja. Menyaksikan kedatangannya, ketiga gadis muda itu sangat ketakutan oleh warna janggutnya yang biru, sehingga mereka bersembunyi ketika dipanggil. Untuk meyakinkan niat baiknya, maka ia mengundang mereka jalan-jalan ke hutan. Ia datang mengendarai kereta kencana yang indah. Mereka semua, termasuk ibu ketiga putri itu bersedia diajak naik kereta dan menikmati keindahan hutan. Mereka sungguh mengalami tamasya yang menyenangkan. Si Janggut Biru memperlakukan mereka dengan baik. Para gadis muda itu lalu berpikir, “Ah barangkali laki-laki ini tidaklah seburuk yang kuduga.”

            Mereka pulang ke rumah dengan rasa puas. Namun kedua gadis yang terbesar kembali merasakan rasa takut dan curiga dan mereka bersumpah tidak akan mau menemui si Janggut Biru lagi. Sedangkan si Bungsu berpikir, “Kalau laki-laki itu bisa begitu ramah dan baik hati….barangkali ia bukan orang yang jahat.”
       Semakin lama ia memikirkan hal itu, semakin takutnya menghilang, dan semakin pudarlah warna biru janggutnya menurut penglihatan si Bungsu. Maka ketika lelaki berjanggut biru melamarnya, ia menerima. Ia membayangkan menikah dengan lelaki yang elegan. Mereka pun menikah. Segera sesudah upacara pernikahan usai, Si Bungsu diboyong ke istana, tempat kediaman Si Janggut Biru.

          Suatu hari si Janggut Biru berkata kepada isterinya. “Aku mau pergi agak lama, isteriku. Engkau boleh melakukan apa saja yang kau sukai, panggillah saudara-saudaramu, adakanlah perjamuan, dan bersenang-senanglah. Kupercayakan kepadamu kunci-kunci ini. Engkau boleh membuka semua ruang dalam istana ini, pintu mana saja; tapi ada satu kunci yang tak boleh kau gunakan, kunci kecil dengan ukiran di ujungnya, jangan kau gunakan sama sekali,” pesannya.

Si Bungsu menjawab, “Aku akan melakukan pesanmu, kedengarannya menyenangkan. Pergilah suamiku sayang, jangan khawatir dan cepatlah pulang.”

      Beberapa hari kemudian, kedua kakak perempuannya datang, penuh rasa ingin tahu, mereka menanyakan apa saja pesan sang suami yang mesti dikerjakan selama ia pergi. Si Bungsu dengan ceria mengatakan semua yang dipesan oleh suaminya. Lalu ketiga bersaudari itu sepakat melakukan suatu permainan, yakni mencocokkan kunci-kunci tersebut. Istana itu terdiri atas tiga tingkat, dengan ratusan kamar pada setiap sisi.

          Semangat mereka tak kunjung memudar melakukan permainan tersebut. Mereka lebih bersemangat lagi ketika mengetahui semakin tersembunyi ruangan tersebut semakin indah isinya. Akhirnya, mereka sampai di suatu ruang di bawah tanah. Di ujung koridor terdapat pintu, yang mendadak terbuka dan menutup kembali, dengan desis yang aneh. Mereka membukanya kembali, tetapi pintu itu terkunci. Salah seorang berteriak memanggil Si Bungsu, “Adik, kemarilah..bawa kuncinya….Pastilah pintu ini hanya bisa dibuka oleh kunci kecil yang misterius itu.”

        Tanpa berpikir panjang salah seorang di antara mereka memasukkan kunci pada pintu dan memutarnya. Pintu itu akhirnya dapat di buka, tetapi gelap sekali, sehingga sang kakak meminta si Bungsu untuk mengambil lilin. Dan saat cahaya temaram lilin menerangi kamar itu, samar-samar mereka melihat pemandangan mengerikan. Ruang itu penuh darah, bau kematian ada di mana-mana, ada tengkorak dan bagian-bagian tubuh lain.

        Mereka menjerit terkejut dan ketakutan. Dengan gemetaran mereka menutup pintu, menguncinya kembali dan menarik kunci dari pintu. Tetapi malang, ada darah menempel menodai kunci kecil terlarang. Si Bungsu dengan panik berusaha menghilangkan noda darah pada kunci kecil itu. Dicobanya segala alat dan cara, tetapi noda darah tidak menghilang. Disembunyikannya kunci itu di lemari pakaiannya.

         Beberapa hari kemudian, si Janggut Biru pulang dan sangat marah mengetahui bahwa ruang rahasia telah dibuka. Darah pada kunci tak mampu mengelabuinya. Kekejamannya segera muncul, tanpa rasa kasihan ia menarik isterinya ke ruang bawah, hendak membunuhnya di sana. Syukurlah sang putri cerdik, ia tak menyerah, begitu saja. “Suamiku, please, izinkan aku kembali ke kamarku untuk berdoa sebelum kematianku,” ujarnya. Si Janggut Biru berteriak,”Pergilah dan segera kembali!”

          Ternyata si Bungsu tidak berdoa, melainkan memanggil saudarinya minta bala bantuan. Bantuan tiba pada saat yang tepat, persis ketika Si Janggut Biru menyusul ke kamar. Di gang, bala bantuan saudara dan saudari si Bungsu menyambutnya dengan tebasan pedang.

Lelaki berjanggut biru akhirnya dapat dibunuh dan si Bungsu selamat.

Senin, 14 Oktober 2013

Angsa Bertelur Emas


        
           Hiduplah seorang petani miskin dan istrinya. Mereka memiliki sebidang tanah yang sempit, yang dapat memberinya sedikit hasil. Mereka juga memiliki seekor angsa kesayangan. Setiap hari angsa itu memberi mereka sebutir telur.

        Pada suatu pagi ketika petani itu mengambil telur, dia menemukan sebutir telur emas di dalam kandang angsa. Dengan sangat gembira ia bergegas menemui istrinya untuk memperlihatkan telur itu. Melihat apa yang ditunjukkan suaminya si istri berteriak kegirangan, “Sekarang kita akan kaya. Telur ini terbuat dari emas murni!”

        Petani dan istrinya itu kemudian menjual telur emas itu dengan harga mahal. Dan kini mereka dapat membeli banyak barang yang mereka butuhkan.

        Angsa itu selalu bertelur setiap pagi maka si petani segera menjadi kaya. Mereka dapat membangun rumah yang indah dan membeli banyak sawah. Akan tetapi pada suatu hari istri petani itu berkata kepada suaminya, “Mendapat satu telur setiap hari terlalu lama. Sekarang jika kita belah indung telur angsa pasti kita akan menemukan banyak telur di dalamnya.” Petani merasa itu suatu gagasan yang bagus, maka segera mereka menangkap angsa, menyembelihnya, dan membuka indung telurnya. Akan tetapi mereka sangat kecewa karena tak mendapati satu telur emas pun di dalam indung telur angsa. Petani dan istrinya itu kini sedih dan sangat menyesal.

Seorang Raja dan Nelayan ( Hartwell James )


Kerajaan yang dialiri oleh sungai Tigris dan Euphrates pernah di perintah oleh seorang raja yang sangat gemar dan menyukai ikan.

Suatu hari dia duduk bersama Sherem, sang Ratu, di taman istana yang berhadapan langsung dengan tepi sungai Tigris, yang pada saat itu terentang jajaran perahu yang indah; dan dengan pandangan yang penuh selidik pada perahu-perahu yang meluncur, dimana pada satu perahu duduk seorang nelayan yang mempunyai tangkapan ikan yang besar.

Menyadari bahwa sang Raja mengamatinya, dan tahu bahwa sang Raja ini sangat menggemari ikan tertentu, nelayan tersebut memberi hormat pada sang Raja dan dengan ahlinya membawa perahunya ketepian, datang dan berlutut pada sang Raja dan memohon agar sang Raja mau menerima ikan tersebut sebagai hadiah. Sang Raja sangat senang dengan hal ini, dan memerintahkan agar sejumlah besar uang diberikan kepada nelayan tersebut.

Tetapi sebelum nelayan tersebut meninggalkan taman istana, Ratu berputar menghadap sang Raja dan berkata: "Kamu telah melakukan sesuatu yang bodoh." Sang Raja terkejut mendengar Ratu berkata demikian dan bertanya bagaimana bisa. Sang Ratu membalas:

"Berita bahwa kamu memberikan sejumlah besar hadiah untuk hadiah yang begitu kecil akan cepat menyebar ke seluruh kerajaan dan akan dikenal sebagai hadiah nelayan. Semua nelayan yang mungkin berhasil menangkap ikan yang besar akan membawanya ke istana, dan apabila mereka tidak dibayar sebesar nelayan yang pertama, mereka akan pergi dengan rasa tidak puas, dan dengan diam-diam akan berbicara jelek tentang kamu diantara teman-temannya."

"Kamu berkata benar, dan ini membuka mata saya," kata sang Raja, "tetapi tidakkah kamu melihat apa artinya menjadi Raja, apabila untuk alasan tersebut dia menarik kembali hadiah yang telah diberikan?" Kemudian setelah merasa bahwa sang Ratu siap untuk membantah hal itu, dia membalikkan badan dengan marah dan berkata "Hal ini sudah selesai dan tidak usah dibicarakan lagi."

        Bagaimanapun juga, dihari berikutnya, ketika pikiran sang Raja sedang senang, Ratu menghampirinya dan berkata bahwa jika dengan alasan itu sang Raja tidak dapat menarik kembali hadiah yang telah diberikan, dia sendiri yang akan mengaturnya. "Kamu harus memanggil nelayan itu kembali," katanya, "dan kemudian tanyakan, 'Apakah ikan ini jantan atau betina?' Jika dia berkata jantan, lalu kamu katankan bahwa yang kamu inginkan adalah ikan betina, tetapi bila nelayan tersebut berkata bahwa ikan tersebut betina, kamu akan membalasnya dengan mengatakan bahwa kamu menginginkan ikan jantan. Dengan cara ini hal tersebut dapat kita sesuaikan dengan baik."

           Raja berpendapat bahwa ini adalah jalan yang terbaik untuk keluar dari kesulitan, dan memerintahkan agar nelayan tadi dibawa ke hadapannya. Ketika nelayan tersebut, yang ternyata adalah orang yang sangat pandai, berlutut di hadapan raja, sang Raja berkata kepadanya: "Hai nelayan, katakan padaku, ikan yang kamu bawa kemarin adalah jantan atau betina?"

Nelayan tersebut menjawab, "Ikan tersebut bukan jantan dan bukan betina." Saat itu sang Raja tersenyum mendengar jawaban yang sangat cerdik, dan untuk menambah kejengkelan sang Rau, memerintahkan bendahara istana untuk memberikan sejumlah uang yang lebih banyak kepada nelayan tersebut.
Kemudian nelayan itu menyimpan uang tersebut dalam kantong kulitnya, berterima kasih kepada Raja, dan memanggul kantong tersebut diatas bahunya, bergegas pergi, tetapi tidak lama kemudian, dia menyadari bahwa dia telah menjatuhkan satu koin kecil. Dengan menaruh kantong tersebut kembali ke tanah, dia membungkuk dan memungut koin itu dan kembali melanjutkan perjalanannya, diikuti dengan pandangan mata Raja dan Ratu yang mengawasi semua tindakannya.

"Lihat! betapa pelitnya dia!" kata Sherem, sang Ratu, dengan bangga atas kemenangannya. "Dia benar-benar menurunkan kantongnya hanya untuk memungut satu buah koin kecil karena mungkin dia akan sangat merasa kehilangan hanya dengan berpikir bahwa koin tersebut akan diambil oleh salah seorang pelayan Raja, atau seseorang yang lebih miskin, yang membutuhkannya untuk membeli sebuah roti dan yang memohon agar raja dikaruniai umur panjang."

"Sekali lagi kamu berbicara benar," balas sang Raja, merasakan kebenaran dari komentar Ratu; dan sekali lagi nelayan tersebut dibawa untuk menghadap ke istana. "Apakah kamu ini manusia atau binatang buas?" Raja bertanya kepadanya. "Walaupun kamu mungkin sudah kaya tanpa harus bekerja keras lagi, tetapi sifat pelit dalam dirimu tidak membiarkan kamu untuk meninggalkan satu koin kecil untuk orang lain." Lalu sang Raja memerintahkan nelayan tersebut untuk pergi dan tidak menampakkan lagi wajahnya di dalam kota kerajaannya.

        Saat itu nelayan tersebut berlutut pada kedua kakinya dan menangis: "Dengarkanlah hamba, Oh sang Raja, pelindung rakyat miskin! Semoga Tuhan memberkahi Tuanku dengan umur panjang. Bukan nilai dari koin tersebut yang hamba pungut, tetapi karena pada satu sisi koin tersebut tertera tulisan pujian atas nama Tuhan, dan disisi lainnya tergambar wajah Raja. Hamba takut bahwa seseorang, mungkin dengan tidak sengaja karena tidak melihat koin tersebut, akan menginjaknya. Biarlah sang Raja yang menentukan apakah yang saya lakukan ini pantas untuk dicela atau tidak."


         Jawaban tersebut membuat sang Raja sangat senang tidak terhingga, dan memberikan lagi nelayan terseut sejumlah besar uang. Dan kemarahan Ratu saat itu juga menjadi reda, dan dia menjadi sadar dan melihat dengan ramah terhadap nelayan tersebut yang pergi dengan kantung yang dimuati dengan uang.

Keladai dan Garam Muatannya ( Aesop )



                 Seorang pedagang, menuntun keledainya untuk melewati sebuah sungai yang dangkal. Selama ini mereka telah melalui sungai tersebut tanpa pernah mengalami satu pun kecelakaan, tetapi kali ini, keledainya tergelincir dan jatuh ketika mereka berada tepat di tengah-tengah sungai tersebut. Ketika pedagang tersebut akhirnya berhasil membawa keledainya beserta muatannya ke pinggir sungai dengan selamat, kebanyakan dari garam yang dimuat oleh keledai telah meleleh dan larut ke dalam air sungai. Gembira karena merasakan muatannya telah berkurang sehingga beban yang dibawa menjadi lebih ringan, sang Keledai merasa sangat gembira ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka.

           Pada hari berikutnya, sang Pedagang kembali membawa muatan garam. Sang Keledai yang mengingat pengalamannya kemarin saat tergelincir di tengah sungai itu, dengan sengaja membiarkan dirinya tergelincir jatuh ke dalam air, dan akhirnya dia bisa mengurangi bebannya kembali dengan cara itu.

                Pedagang yang merasa marah, kemudian membawa keledainya tersebut kembali ke pasar, dimana keledai tersebut di muati dengan keranjang-keranjang yang sangat besar dan berisikan spons. Ketika mereka kembali tiba di tengah sungai, sang keledai kembali dengan sengaja menjatuhkan diri, tetapi pada saat pedagang tersebut membawanya ke pinggir sungai, sang keledai menjadi sangat tidak nyaman karena harus dengan terpaksa menyeret dirinya pulang kerumah dengan beban yang sepuluh kali lipat lebih berat dari sebelumnya akibat spons yang dimuatnya menyerap air sungai.

Dua Ekor Kambing Jembatan ( Aesop )


      

       Dua ekor kambing berjalan dengan gagahnya dari arah yang berlawanan di sebuah pegunungan yang curam, saat itu secara kebetulan mereka secara bersamaan masing-masing tiba di tepi jurang yang dibawahnya mengalir air sungai yang sangat deras. Sebuah pohon yang jatuh, telah dijadikan jembatan untuk menyebrangi jurang tersebut. Pohon yang dijadikan jembatan tersebut sangatlah kecil sehingga tidak dapat dilalui secara bersamaan oleh dua ekor tupai dengan selamat, apalagi oleh dua ekor kambing. Jembatan yang sangat kecil itu akan membuat orang yang paling berani pun akan menjadi ketakutan. Tetapi kedua kambing tersebut tidak merasa ketakutan. Rasa sombong dan harga diri mereka tidak membiarkan mereka untuk mengalah dan memberikan jalan terlebih dahulu kepada kambing lainnya.

        Saat salah satu kambing menapakkan kakinya ke jembatan itu, kambing yang lainnya pun tidak mau mengalah dan juga menapakkan kakinya ke jembatan tersebut. Akhirnya keduanya bertemu di tengah-tengah jembatan. Keduanya masih tidak mau mengalah dan malahan saling mendorong dengan tanduk mereka sehingga kedua kambing tersebut akhirnya jatuh ke dalam jurang dan tersapu oleh aliran air yang sangat deras di bawahnya.

Kerbau dan Kambing ( Aesop )


   
           Seekor kerbau jantan berhasil lolos dari serangan seekor singa dengan cara memasuki sebuah gua dimana gua tersebut sering digunakan oleh kumpulan kambing sebagai tempat berteduh dan menginap saat malam tiba ataupun saat cuaca sedang memburuk. Saat itu hanya satu kambing jantan yang ada di dalam gua tersebut. Saat kerbau masuk kedalam gua, kambing jantan itu menundukkan kepalanya, berlari untuk menabrak kerbau tersebut dengan tanduknya agar kerbau jantan itu keluar dari gua dan dimangsa oleh sang Singa. Kerbau itu hanya tinggal diam melihat tingkah laku sang Kambing. Sedang diluar sana, sang Singa berkeliaran di muka gua mencari mangsanya.

          Lalu sang kerbau berkata kepada sang kambing, "Jangan berpikir bahwa saya akan menyerah dan diam saja melihat tingkah lakumu yang pengecut karena saya merasa takut kepadamu. Saat singa itu pergi, saya akan memberi kamu pelajaran yang tidak akan pernah kamu lupakan."

Dua Orang Pengembara dan Seekor Beruang ( Aesop )



          Dua orang berjalan mengembara bersama-sama melalui sebuah hutan yang lebat. Saat itu tiba-tiba seekor beruang yang sangat besar keluar dari semak-semak di dekat mereka.

Salah satu pengembara, hanya memikirkan keselamatannya dan tidak menghiraukan temannya, memanjat ke sebuah pohon yang berada dekat dengannya.

Pengembara yang lain, merasa tidak dapat melawan beruang yang sangat besar itu sendirian, melemparkan dirinya ke tanah dan berbaring diam-diam, seolah-olah dia telah meninggal. Dia sering mendengar bahwa beruang tidak akan menyentuh hewan atau orang yang telah meninggal.

Temannya yang berada di pohon tidak berbuat apa-apa untuk menolong temannya yang berbaring. Entah hal ini benar atau tidak, beruang itu sejenak mengendus-endus di dekat kepalanya, dan kelihatannya puas bahwa korbannya telah meninggal, beruang tersebutpun berjalan pergi.

Pengembara yang berada di atas pohon kemudian turun dari persembunyiannya.
"Kelihatannya seolah-olah beruang itu membisikkan sesuatu di telingamu," katanya. "Apa yang di katakan oleh beruang itu"

"Beruang itu berkata," kata pengembara yang berbaring tadi, "Tidak bijaksana berjalan bersama-sama dan berteman dengan seseorang yang membiarkan dan tidak menghiraukan temannya yang berada dalam bahaya."

Pemerah Susu dan Embernya ( Aesop )



Seorang wanita pemerah susu telah memerah susu dari beberapa ekor sapi dan berjalan pulang kembali dari peternakan, dengan seember susu yang dijunjungnya di atas kepalanya. Saat dia berjalan pulang, dia berpikir dan membayang-bayangkan rencananya kedepan.

"Susu yang saya perah ini sangat baik mutunya," pikirnya menghibur diri, "akan memberikan saya banyak cream untuk dibuat. Saya akan membuat mentega yang banyak dari cream itu dan menjualnya ke pasar, dan dengan uang yang saya miliki nantinya, saya akan membeli banyak telur dan menetaskannya, Sungguh sangat indah kelihatannya apabila telur-telur tersebut telah menetas dan ladangku akan dipenuhi dengan ayam-ayam muda yang sehat. Pada suatu saat, saya akan menjualnya, dan dengan uang tersebut saya akan membeli baju-baju yang cantik untuk di pakai ke pesta. Semua pemuda ganteng akan melihat ke arahku. Mereka akan datang dan mencoba merayuku, tetapi saya akan mencari pemuda yang memiliki usaha yang bagus saja!"

Ketika dia sedang memikirkan rencana-rencananya yang dirasanya sangat pandai, dia menganggukkan kepalanya dengan bangga, dan tanpa disadari, ember yang berada di kepalanya jatuh ke tanah, dan semua susu yang telah diperah mengalir tumpah ke tanah, dengan itu hilanglah semua angan-angannya tentang mentega, telur, ayam, baju baru beserta kebanggaannya.

Grethel yang cerdik ( Grimm Bersaudara )

      

          Dahulu kala ada seorang tukang masak yang bernama Grethel yang suka memakai sepatu bertumit merah, yang ketika keluar rumah selalu merasa bebas dan memiliki perasaan yang sangat baik. Ketika dia kembali ke rumah lagi, dia selalu meminum segelas anggur untuk menyegarkan diri, dan ketika minuman anggur tersebut memberi nafsu makan kepadanya, dia akan memakan makanan yang terbaik dari apapun yang dimasaknya hingga dia merasa cukup kenyang. Untuk itu dia selalu berkata "Seorang tukang masak harus tahu mencicipi apapun".

Suatu hari tuannya berkata kepadanya "Grethel, saya menunggu kedatangan tamu pada malam ini, kamu harus menyiapkan sepasang masakan ayam".

"Tentu saja tuan" jawab Grethel. Lalu dia memotong ayam, membersihkannya dan kemudian mencabuti bulunya, lalu ketika menjelang malam, dia memanggang ayam tersebut di api hingga matang. Ketika ayam tersebut mulai berwarna coklat dan hampir selesai dipanggang, tamu tersebut belum juga datang.

"Jika tamu tersebut tidak datang cepat" kata Grethel kepada tuannya, "Saya harus mengeluarkan ayam tersebut dari api, sayang sekali apabila kita tidak memakannya sekarang justru pada saat ayam tersebut hampir siap." Dan tuannya berkata dia sendiri akan berlari mengundang tamunya. Saat tuannya mulai membalikkan badannya, Grethel mengambil ayam tersebut dari api.

"Berdiri begitu lama dekat api," kata Grethel, "membuat kita menjadi panas dan kehausan, dan siapa yang tahu apabila mereka akan datang atau tidak! sementara ini saya akan turun ke ruang penyimpanan dan mengambil segelas minuman." Jadi dia lari kebawah, mengambil sebuah mug, dan berkata, "Ini dia!" dengan satu tegukan besar. "Satu minuman yang baik sepantasnya tidak disia-siakan," dia berkata lagi "dan tidak seharusnya berakhir dengan cepat," jadi dia mengambil tegukan yang besar kembali. Kemudian dia pergi keatas dan menaruh ayam tadi di panggangan api kembali, mengolesinya dengan mentega. Sekarang begitu mencium bau yang sangat sedap, Grethel berkata, "Saya harus tahu apakah rasanya memang seenak baunya," Dia mulai menjilati jarinya dan berkata lagi sendiri, "Ya.. ayam ini sangat sedap, sayang sekali bila tidak ada orang disini yang memakannya!"

Jadi dia menengok keluar jendela untuk melihat apakah tuan dan tamunya sudah datang, tapi dia tidak melihat siapapun yang datang jadi dia kembali ke ayam tersebut. "Aduh, satu sayapnya mulai hangus!" dan berkata lagi, "Sebaiknya bagian itu saya makan." Jadia dia memotong sayap ayam panggang tersebut dan mulai memakannya, rasanya memang enak, kemudian dia berpikir,

"Saya sebaiknya memotong sayap yang satunya lagi, agar tuanku tidak akan menyadari bahwa ayam panggang tersebut kehilangan sayap disebelah." Dan ketika kedua sayap telah dimakan, dia kembali melihat keluar jendela untuk mencari tuannya, tetapi masih belum juga ada yang datang.

"Siapa yang tahu, apakah mereka akan datang atau tidak? mungkin mereka bermalam di penginapan."Setelah berpikir sejenak, dia berkata lagi "Saya harus membuat diri saya senang, dan pertama kali saya harus minum minuman yang enak dan kemudian makan makanan yang lezat, semua hal ini tidak bisa disia-siakan." Jadia dia lari ke ruang penyimpanan dan mengambil minuman yang sangat besar, dan mulai memakan ayam tersebut dengan rasa kenikmatan yang besar. Ketika semua sudah selesai, dan tuannya masih belum datang, mata Grethel mengarah ke ayam yang satunya lagi, dan berkata, "Apa yang didapat oleh ayam yang satu, harus didapat pula oleh ayam yang lain, sungguh tidak adil apabila mereka tidak mendapat perlakuan yang sama; mungkin sambil minum saya bisa menyelesaikan ayam yang satunya lagi." Jadi dia meneguk minumannya kembali dan mulai memakan ayam yang satunya lagi.

Tepat ketika dia sedang makan, dia mendengar tuannya datang. "Cepat Grethel," tuannya berteriak dari luar, "tamu tersebut sudah datang!" "Baik tuan," dia menjawab, "makanan tersebut sudah siap." Tuannya pergi ke meja makan dan mengambil pisau pemotong yang sudah disiapkan untuk memotong ayam dan mulai menajamkannya. Saat itu, tamu tersebut datang dan mengetuk pintu dengan halus. Grethel berlari keluar untuk melihat siapa yang datang, dan ketika dia berpapasan dengan tamu tersebut, dia meletakkan jarinya di bibir dan berkata, "Hush! cepat lari dari sini, jika tuan saya menangkapmu, ini akan membawa akibat yang buruk untuk kamu; dia mengundangmu untuk makan, tetapi sebenarnya dia ingin memotong telingamu! Coba dengar, dia sedang mengasah pisaunya!"

 Tamu tersebut, mendengarkan suara pisau yang diasah, berbalik pergi secepatnya. Dan Grethel berteriak ke tuannya, "Tamu tersebut telah pergi membawa sesuatu dari rumah ini!".
"Apa yang terjadi, Grethel? apa maksud mu?" dia bertanya.
"Dia telah pergi dan membawa lari dua buah ayam yang telah saya siapkan tadi."

"Itu adalah sifat yang buruk!" kata tuannya, dia merasa sayang pada ayam panggang tersebut; "dia mungkin mau menyisakan satu untuk saya makan." Dan dia memanggil tamunya dan menyuruhnya untuk berhenti, tetapi tamu tersebut seolah-olah tidak mendengarnya; kemudian tuannya tersebut mulai berlari mengejar tamunya dengan pisau masih ditangan dan berteriak,"hanya satu! hanya satu!" dia bermaksud agar tamu tersebut setidak-tidaknya memberikan dia satu ayam panggang dan tidak membawa kedua-duanya, tetapi tamu tersebut mengira bahwa dia menginginkan satu telinganya, jadi dia berlari semakin kencang menuju kerumahnya sendiri.

Minggu, 06 Oktober 2013

Peniup Suling dari Hamelin (Grimms)


Hamelin adalah sebuah kota yang makmur, penduduknya merasa puas dan bangga tinggal di sana. Kemudian datanglah tikus-tikus. Di setiap kota selalu ada tikus yang kadang-kadang sangat mengganggu, tetapi biasanya mereka masih bisa terkontrol. Tidak demikian halnya dengan Hamelin, tikus yang datang ke sana berjumlah ribuan. Belum pernah orang menjumpai tikus yang datang sebanyak itu di satu tempat. Mereka bergerombol di seluruh kota, meencuri makanan, menggerip bangunan-bangunan, menyebarkan kuman-kuman penyakit. Para penangkap tikus bekerja siang malam untuk membebaskan kota dari tikus-tikus, tetapi rasanya makin banyak tikus yang mereka bunuh, makin banyak tikus muncul untuk menggantikan yang mati itu.

Penduduk kota  merasa sangat celaka. Makin lama keadaan makin memburuk. Tikus-tikus itu mencuri makanan dari lemari-lemari makan dan gudang-gudang makanan. Kemana pun mereka pergi ditinggalkannya kotoran dan kerusakan. Makanan menjadi langka dan orang-orang pun mulai khawatir akan terjadi bencana kelaparan. Anak-anak dan orang tua menjadi sakit karena makan makanan yang telah dicemari oleh tikus-tikus. 

Dalam keputus-asaan, walikota mengadakan pertemuan untuk mencari jalan melenyapkan wabah tikus itu. Semua orang berkumpul di lapangan. Setiap kali sebuah ide dilontarkan, ada orang lain yang mengatakan bahwa cara itu telah dicoba tanpa hasil.

Ketika itu tampillah seorang asing di depan kerumunan orang banyak itu. Pakaian orang itu sangat aneh dan berwarna-warni, di kepalanya ia memakai topi besar yang ada bulu burung meraknya. Kelihatannya dia lebih cocok menjadi pemain sirkus. Semua penduduk Hamelin memperhatikannya ketika ia mulai berbicara dengan suara yang aneh, seakan-akan sedang menyanyi. 

”Aku dapat menolong kalian mengusir tikus-tikus dari kota ini, tapi jangan salah, biayanya mahal sekali,” katanya.

”Dalam perbendaharaan kotaini ada sepuluh ribu keping emas,” kata walikota. ”Jika engkau dapat mengenyahkan wabah tikus dari kota ini, seluruh emas itu akan menjadi milikmu. Tapi sebelumnya, tuan yang baik, bagaimana caranya engkau akan membuat keajaiban ini?”

Orang asing itu tersenyum penuh rahasia.

“Semua yang kuperlukan ada di sini, terjahit diikat pinggangku,” katanya sambil menunjuk kesebuah suling bambu dipinggangnya. ”Jika kalian ingin aku mengusir tikus-tikus ini, kalian harus percaya padaku.”
Walikota tidak terlalu yakin bahwa orang asing itu dapat berbuat seperti yang dikatakannya, tapi tak ada salahnya jika dicoba, maka diapun setuju. Kemudian peniup suling itu berpaling kepada kerumunan orang banyak.

“Sekarang pulanglah ke rumah kalian, dan tunggulah sampai tugasku selesai,” katanya.

Setiap orang meninggalkan lapangan dan pulang kerumah, sambil bertanya-tanya apa gerangan yang akan dikerjakan oleh orang asing yang berpakaian warna warni itu. Setelah semua orang pergi, orang asing itu mengambil sulingnya dan mulai meniupnya. Irama ajaib yang dimainkannya merembes ke seluruh kota. Dan seperti suatu keajaiban, orang melihat tikus-tikus keluar dari rumah-rumah mereka lalu berkumpul membuat arak-arakan.dari jendela-jendela mereka dapat melihat beribu-ribu ekor tikus terburu-buru berkumpul di lapangan di mana peniup suling itu sedang meniup sulingnya. Ketika tikus pertama sampai didekatnya, si peniup suling mulai menari lalu turun ke jalan ke luar kota diikuti oleh tikus-tikus itu. Arak-arakan tikus itu makin lama makin besar, jumlahnya benar-benar menakjubkan. Kelihatannya setiap tikus mengikuti irama musik yang dimainkan oleh peniup suling. 


Semua orang memperhatikan dengan tercengang sampai si peniup suling hilang dari pandangan. Beberapa orang yang tak dapat menahan rasa ingin tahunya keluar dari rumah mereka dan mengikuti arak-arakan yang menakjubkan itu. Dengan tidak menoleh-noleh si peniup suling terus menari sampai di sebuah jembatan yang membentang di atas sungai di pinggir kota. Setibanya di jembatan ia berhenti menari tapi tetap meniup sulingnya. Orang-orang yang mengikutinya melihat tikus-tikus itu lari ke tepi sungai yang deras airnya. Satu persatu tikus-tikus itu terjun ke dalam sungai lalu menghilang dari pandangan dihanyutkan oleh arus sungai itu. Satu demi satu beribu-ribu ekor tikus itu loncat ke sungai dan menghilang, tak seekor pun yang tertinggal.
Penduduk kota hampir tidak percaya akan apa yang terjadi. Ketika mereka pulang ke rumah atau pergi ke toko, kemana pun mereka mencari, tikus-tikus itu tidak ditemukan lagi. Mereka pun melakukan pertemuan lagi di tanah lapang. Si peniup suling harus diberi hadiah.

Tetapi penduduk kota tidak tahu bahwa walikota telah berdusta ketika ia menjanjikan sepuluh ribu keping emas kepada peniup suling. Walikota itu seorang yang bodoh dan serakah, ia telah memakai uang kota Hamelin untuk keperluannya sendiri. Perbendaharaan kota sudah hampir kosong. Ketika peniup suling datang untuk mengambil upahnya, walikota hanya memberinya beberapa keping emas untuk pengganti jerih payahnya. Si peniup suling sangat marah. Meskipun walikota yang berbuat curang, ia menyalahkan seluruh penduduk kota. 

”Kalian semua telah menipu dan menghinaku!”teriaknya dengan marah.”Tapi kukatakan kepadamu; tak seorang pun dapat berbuat begitu kepada Peniup Suling tanpa menerima balasannya! Kalian semua akan dihukum!”

Begitu selesai berbicara, Peniup Suling berpaling dan mengambil sulingnya lagi. Diletakkannya suling itu di bibirnya lalu ditiupnya kembali tetapi kali ini iramanya berbeda. Musik mengalun ke seluruh penjuru kota dan membuat kaki-kaki setiap anakdi Hamelin mulaimenari. Dengan sangat ketakutan orang-orang dewasa memperhatikan anak-anak itu membentuk arak-arakan, seperti yang dilakukan oleh tikus-tikus, lalu mulai mengikuti si Peniup Suling.

Para ayah dan ibu memanggil-manggil anak mereka dan menyuruh berhenti, tapi anak-anak itu tidak mendengar. Mereka berdansa makin cepatdan makin cepat mengikuti Peniup Suling. Penduduk kota tak dapat berbuat sesuatu apa pun untuk menghentikan mereka. Peniup Suling terus menari dan anak-anak mengikuti dibelakangnya dengan gembira. Musik itu mempunyai kekuatan ajaib, yang hanya dapat didengar oleh mereka, yang membuat mereka ingin pergi.

Seperti sebelumnya, Peniup Suling memimpin arak-arakan itu ke jalan yang menuju ke luar kota. Dengan sangat  ketakutan penduduk kota melihat dia sampai ke jembatan di atas sungai, tapi anak-anak tidak terjun ke sungai seperti tikus-tikus. Mereka mengikuti Peniup Suling menyeberangi jembatan lalu pergi jauh.
Pada bagian akhir arak-arakan, tertinggal dari yang lainnya karena tak dpat berjalan cepat, adalah seorang anak laki-laki yang kakinya lemah. Baginya, berjalan sangat sulit dan melelahkan. Ia juga senang mengikuti irama musik yang ajaib itu dan meskipun sukar untuknya berjalan secepat yang lain, ia berusaha keras untuk mengikuti. Sesuatu mengatakan kepadanya bahwa anak-anak itu akan dibawa ke tempat yang lebih menyenangkan dari yang dapat mereka bayangkan.

Penduduk kota pun berhenti. Mereka tahu bahwa Peniup Suling telah mengambil anak-anak mereka untuk selamanya dan tak mungkin untuk membawa mereka kembali. Dengan sangat sedih mereka pun pulang ke rumah.

Sejak saat itu kota Hamelin terbenam dalam duka cita yang dalam. Sebuah kota tanpa anak-anak adalah tempat yang sangat menyedihkan. Para orang tua yang kehilangan anaknya sangat sedih demikian juga orang-orang lainnya yang mengenal dan menyayangi anak-anak itu. Walikota, yang menyadari bahwa semua itu disebabkan olah kejahatannya, merasa sangat malu lalu pergi meninggalkan kota.
Tidak ada penduduk kota yang tahu kemana anak-anak itu pergi, apakah mereka masih hidup atau sudah mati.


Beberapa minggu pun berlalu. Kemudian pada suatu hari anak laki-laki yang kakinya lemah itu berjalan terpincang-pincang kembali ke Hamelin dalam keadaan letih dan putus asa, dan ia menceritakan sebuah kisah yang sangat aneh. Dengan alunan musiknya, si PeniupSuling telah membawa anak-anak itu bermil-mil jauhnya melintasi bukit-bukit. Anak laki-laki itu berusaha mengikuti terus, tapi lama kelamaan ia jatuh dan tertinggal. Peniup Suling itu membawa anak-anak itu ke lereng sebuah gunung yang curam. Lereng gunung itu terbuka dan dari jauh terlihat sebuah tempat yang sangat indah di dalamnya. Satu persatu anak-anak itu berjalan melintasi gunung, tapi ketika anak laki-laki itu sampai lereng itu telah tertutup. Ia tertinggal sendirian di gunung, dan merasa sedih karena tidak dapat ikut dengan teman-temannya. 

Kota Hamelin telah membayar sangat mahal untuk mengusir tikus-tikus itu. Selama bertahun-tahun kota terasa lengang dan mengerikan tanpasuara anak-anak yang sedang bermain.

Legenda Putri Hijau



Pada jaman dahulu kala, ketika Sultan Mukhayat Syah dari Aceh sedang beristirahat di mahligainya, tiba-tiba ia melihat cahaya hijau dari arah timur. Sultan segera memanggil wazirnya dan menanyakan apakah gerangan cahaya itu. Sang wazir juga ikut terkejut dan tidak dapat menjawab pertanyaan Sultan. Baru keesokan paginya diutuslah seorang kepercayaan Sultan agar menyelidiki cahaya itu. Hasil penyelidikan menyebutkan bahwa cahaya itu berasal dari tubuh Putri Hijau di Deli Tua.

Sultan Mukhayat Syah kemudian jatuh cinta, sekalipun Sultan belum pernah melihat wajah sang putri. la berhasrat ingin meminang putri. Barangkatlah ia menuju ke Deli diiringi oleh pengawal-pengawalnya.

Nah, siapakah Putri Hijau yang menawan hati Sultan Aceh itu? Konon menurut hikayat pada abad ke-15 di daerah Deli ada sebuah kerajaan, Gasip namanya. Kerajaan ini mempunyai perbatasan yang panjangnya dari Teluk Aru hingga sekitar Sungai Rokan. Kerajaan ini selalu mendapat saingan dari Kerajaan Aceh, yang pada waktu itu sedang sangat jaya. Untuk menghindari bencana lebih jauh, kerajaan ini memindahkan ibu negaranya jauh dari tepi pantai Selat Malaka. Kota yang baru itu diberi nama Deli Tua.

Ketika itu yang memerintah Kerajaan Deli ialah Sultan Sulaiman. Ketika beliau wafat, beliau maninggalkan tiga orang anak. Yang sulung bernama Mambang Jazid, yang kedua bernama Putri Hijau, dan yang terakhir bernama Mambang Khayali.

Putri Hijau adalah seorang wanita yang cantik wajahnya. la dinamakan Putri Hijau karena dari tubuhnya selalu memancarkan cahaya hijau, lebih-lebih jika ia sedang bermain di dalam taman pada waktu bulan purnama. Ketiga putra-putri Sultan Sulaiman ini dianggap rakyatnya sebagai penjelmaan dewa-dewa. Mereka dipuja sebagai orang-orang sakti.

Kini kita kembali kepada perjalanan Sultan Mukhayat Syah. Setibanya di Labuhan, Sultan segera mengirimkan utusan peminangan. Mambang Jazid mengajukan hasrat Sultan Aceh kepada Putri Hijau. Akan tetapi, Putri Hijau menolak lamaran Sultan Mukhayat Syah. Tentu saja Sultan Aceh amat marah. la merasa dihina.

Peperangan pun terjadilah. Banyak prajurit Aceh yang menjadi korban. Akhirnya, Perdana Menteri Aceh menemukan suatu tipu muslihat, yang dianggap akan dapat mengalahkan para prajurit Deli Tua. Tipu muslihat itu berupa penembakan uang ringgit ke arah kubu-kubu musuh, yang berupa rumpun bambu berduri yang rapat mengelilingi kota Deli Tua. Melihat uang-uang ringgit, rakyat Deli Tua tanpa pikir panjang lagi segera memotongi dan menebangi rumpun bambu berduri itu. Akibatnya, pertahanan kota Deli Tua menjadi hancur. Mereka sukar menahan serangan bala tentara Sultan Mukhayat Syah.

Untuk menahan serangan selanjutnya, Mambang Khayali menjelmakan dirinya menjadi sebuah meriam yang dapat menembaki musuh. Namun, tatkala pertempuran sedang berlangsung dengan hebatnya, ia merasa amat haus. la minta minum kepada Putri Hijau, tapi permintaannya ditolak. Menurut Putri Hijau, hal itu dapat mencelakakan. Akibatnya merasa lemahlah sendi-sendinya, sementara ia terus memuntahkan meriamnya. Tiba-tiba tubuhnya patah menjadi dua. Kepala meriam terpental sampai ke Aceh, sedangkan bagian belakangnya tetap tinggal di Deli.

Mambang Jazid memperoleh firasat bahwa mereka akan kalah perang. la berpesan kepada Putri Hijau bahwa bila sang putri kelak ditawan oleh Sultan Aceh, sedapat mungkin ia memohon agar dapat dimasukkan ke dalam sebuah keranda kaca. Sebelum tiba di Aceh, tubuhnya tidak boleh disentuh oleh Sultan Aceh. Setibanya di Aceh ia harus memohon kepada Sultan agar memerintahkan rakyatnya membawa persembahan masing-masing sebutir telur ayam dan segenggam bertih (beras putih). Semua persembahan itu harus dionggokkan di tepi pantai. Setelah upacara selesai, onggokan itu harus dibuang ke laut. Pada saat itu Putri Hijau harus keluar dari keranda kacanya lalu membakar kemenyan sambil memanggil nama Mambang Jazid. Setelah meninggalkan pesan terakhir itu, gaiblah Mambang Jazid.

Putri Hijau dapat ditawan dan akan dibawa ke Kerajaan Aceh. Putri Hijau segera mengajukan syarat-syarat seperti yang dipesankan Mambang Jazid. Sultan Mukhayat Syah mengabulkannya. Kini Putri Hijau diboyong ke Aceh.

Di Aceh kapal baginda berlabuh di muka Tanjung Jambu Air. Sultan memerintahkan rakyatnya agar mengadakan upacara persembahan kepada Putri Hijau. Seluruh rakyat memenuhinya.

Sausai upacara, Putri Hijau terlihat keluar dari keranda kacanya. Dalam kepulan asap kemenyan, Putri Hijau menyebutkan nama kakaknya. Tiba-tiba turunlah angin ribut dan hujan lebat disertai halilintar, dan gulungan ombak yang amat dahsyatnya.

Dunia seakan-akan hampir kiamat. Tiba-tiba muncullah seekor naga raksasa dari dalam ombak dan langsung menuju ke kapal Sultan Aceh. Dihantamnya kapal itu dengan ekornya hingga kapal terbelah menjadi dua dan karam dengan segera. Sultan Mukhayat Syah selamat.

Dalam keadaan yang kacau itu, Putri Hijau segera kembali ke keranda kacanya sehingga pada waktu ombak menghantam kapal, ia dapat terapung-apung di atas laut. Sang Naga segera meluncur menghampiri keranda itu lalu mengangkatnya dengan kepalanya dan dibawanya ke Selat Malaka. Gerakan itu amat cepatnya sehingga Sultan Aceh tidak dapat berbuat apa-apa. la hanya dapat termenung, merindukan, dan mengenangkan Putri Hijau yang sudah menjadi miliknya, tetapi terlepas lagi untuk selamanya.

Dewi Sangalanggit (Jawa Timur)


Jaman dahulu kala ada seorang puteri yang cantik jelita bernama Dewi Sanggalangit. Ia puteri salah satu raja yang terkenal di Kediri. Karena wajahnya yang cantik jelita dan sikapnya yang lembut, banyak pangeran dan raja-raja ingin meminangnya unuk dijadikan sebagai istri.

Namun sayangnya ewi Sanggalangit belum memiliki keinginan untuk berumah tangga sehinga membuat pusing kedua orang tuanya. Padahal kedua orang tuanya sudah sangat mendambakan seorang cucu ditengah-tengah keluarga mereka.

"Anakku, sampai kapan kau menolak setiap pangeran yang datang melamarmu?" Tanya raja pada suatu hari.
"Ayahnda, sebenarnya hamba belum berhasrat untuk bersuami. Naun jika ayahnda sangat mengharapkan hamba untuk menikah, baiklah. Tapi hamba meminta syarat, suami hamba harus memenuhi keinginan hamba".
"Lalu apa keinginanmu?"
"Hamba belum tahu.."
"Lho, kok aneh??" sahut baginda.
"Hamba akan bersemedi terlebih dahulu untuk meminta petunjuk Dewa. Setelah itu hamba akan menghadap ayahanda untuk menyampaikan einginan hamba."

Demikianlah, lalu Dewi sangalangit besemedi selama tiga hari tiga malam memohon petunjuk sang Dewa. Lalu pada hari keempat ia menghadap ayahandanya.

"Ayahanda, calon suami hamba harus mampu menghadirkan sebuah tontonan yang menarik. Tontonan atau pertunjukan yang belum pernah ada sebelumnya. Semacam tarian yang diiringi tabuhan dan gamelan, dilengkapi dengan barisan kuda kembar sebanyak seratus empat puluh ekor yang nantinya akan dijadikan sebagai pengiring pengantin. Terakhir harus dapat menghadirkan binatang berkepala dua.

"Wah berat sekali syaratmu itu..!!" Sakut baginda.

Meski berat, namun syarat itu tetap diumumkan kepada rakyat-rakyatnya, tak terkecuali raja-raja dan pangeran dari negeri tetangga dan seberang. Para pelamar yang tadinya menggebu-gebu unuk memperistri Dewi Sanggalangit banyak yang ciut nyalinya dan akhirnya mereka mengundurkan diri karena merasa syarat yang harus dipenuhi sangat mustahil dan berat. Akhirnya inggal dua orang saja yang tersisa dan menyatakan siap dan sanggup untuk memenuhi permintaan Dewi Sanggalangit. Mereka adalah Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya dan Raja Kelana Swandana dari Kerajaan Bandarangin.

Baginda Raja sangat terkejut mendengar kesanggupan kedua raja itu. Sebab raja Singabarong adalah manusia yang aneh, ia seorang manusia berkepala harimau. Wataknya buas dan kejam. Sedangkan Kelanaswandana adalah seorang raja yang berwajah tampan dan gagah, namun punya kebiasaan aneh. Suka pada anak laki-laki. Anak laki-laki dianggapnya sebagai gadis-gadis cantik.

Namun semua sudah terlanjur, Dewi Sanggalangit tidak bisa menggagalkan persyaratan yang telah diumumkannya.

Raja Singabarong bertubuh besar dan tinggi. Dari bagian leher keatas berwujud harimau yang meyeramkan. Berbulu lebat dan dipenuhi dengan kutu-kutu. Itulah sebabnya ia memeluhara seekor burung merak yang rajin mematuki kutu-kutunya.

Raja Singabarong telah memerintahkan kepada para abdinya untuk mencarikan kuda-kuda kembar. Mengerahkan para seniman untuk menciptakan sebuah tontonan yang menarik dan mendapatkan seekor binatang berkepala dua.. Namun pekerjaan tersebut ternyata tidak mudah. Kuda kembar sudah bisa dikumpulkan, namun tontonan dengan kreasi yang baru belum juga tercipta, demikian pula dengan binatang berkepala dua belum juga bisa didapatkan.

Maka pada suatu hari ia memanggil patihnya yang bernama Iderkala. Ia diutus oleh Raja Singabarong untuk menyelidiki kesiapan dari pesaingnya, Kelanaswandana. Patih Iderkala dan beberapa prajurit terlatihnya segera berangkat menuju kerajaan Bandarangin dengan menyamar sebagai seorang pedagang. Setelah mereka melakukan penyelidika dengan seksama selama beberapa hari, mereka kembali ke Lodaya.

"Ampun Baginda. Kiranya si Kelanaswanda hampir berhasil mewujudkan permintaan Dewi Sanggalangit. Hamba melihat lebih dari seratus kuda dikumpulkan. Mereka juga yelah menyiapka tontonan yang  menarik dan sangat menakjubkan." Patik Iderkala melaporkan.

"Wah Celaka..!! Kalau begitu, sebentar lagi dia dapat merebut Dewi Sanggalangit sebagai istrinya." Kata Raja Singabarong."Lalu bagaimana dengan binatang berkepala duanya?? Apa mereka juga sudah siapkan??"

"Hanya binatang itulah yang belum mereka siapkan Baginda, tapi nampaknya sebentar lagi mereka dapat menyiapkannya" Sambung Patih Iderkal.

"Patih Idkala, mulai siapkan prajurit pilihan yang terbaik dengan persenjatan yang lengkap. Setiap saat meeka harus siap diperintah untuk menyerbu ke Bandarangin.

Demikianlah, Raja ingabarong ingin bermaksud untuk merebut hasil usaha keras Raja Kelanaswandana. Setelah mengadakan persiapan yang matang, Raja singabarong memerintahkan beberapa mata-matanya untuk menyelidiki perjalanan yang ditempuh Raja Kelanawandana dari Wengker menuju Kediri. Rencananya Raja Singabarong akan menyerbu mereka diperjalanan dan merebut hasil usaha Raja Kelanaswandana untuk diserahkan sendiri kepada Dewi Sanggalangit.

Namun, Rencana Raja Sibgabarong hancur karena semua mata-mtanya berhasil ditangkap dan dibunuh oleh prajurit kerajaan Bandarangin karena kedok mereka terbongkar.

Sementara itu Raja Singabarong yang menunggu laporan dari pajurit mata-matanya yang di kirim ke kerajaan Bandarangin nampak gelisah. Ia segera memerintahkan kepada patih Iderkala untuk menyusul mereka ke perbatasan. Sementara ia sendiri pergi ke tamansari untuk menemui si burung merak, karena pada saat itu kepalanya terasa gatal sekali.

"Hai burung meak, cepat patukilah kutu-kutu dikepalaku!" Teriak aja Singabarong menahan gatal.

Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bahu Raja Singabarong dan mulai mematuki kutu-kutu yang bertebaran di kepala Raja Singabarong. Karena Patukan-patukan yang nikmat dari Burung Merak itu, Raja Singabarong sampai tertidur pulas. Ia sama sekali tak mengetahui keadaan diluar istana. Karena tak ada prajurit yang berani melapor kepadanya.

Diluar istana pasukan Bandarangin telah menyerbu dan mengalahkan prajurit Lodaya. Bahkan patih Iderkala yang dikirim ke perbatasan elah tewas terlebih dahulu karena berpapasan dengan pasukan Bandarangin. Ketika pertempuran itu sudah merambat ke dalam istana dekat tamansari, barulah Raja Singabarong terbangun dari tidurnya karena mendengar suara ribut-ribut. Sementara si burung merak masih saja terus mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong. Jika dilihat secara sepintas dari depan Raja Singabarong terlihat seperti binatang berkepala dua yaitu berkepala harimau dan merak.

"Kai mengapa diluar sana ribut-ribut...!!!" Teriak Raja Singabarong marah.

Namun tak ada jawaban, kecuali berkelebatnya bayangan seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Raja Kelanaswandana.

Raja Singabarong terkejut seali. "Hai Raja Kelanaswandana mau apa kau datang kemari..??"

"Jangan pura-pura bodoh!!" Sahut Raja Kelanawandana. "Bukankah kau hendak merampas usahaku dalam memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit..!!"

"Hemm, jadi kau sudah tahu??" Sahut Raja Singabarong dengan penuh rasa malu.

"Ya, maka aku akan menghukummua!!"

Lalu Raja kelanaswandana mengeluarkan kesaktiannya. Seketika kepala Raja Singabarong menjadi berubah. Burung merak yang tadinya hingga di bahunya lalu menempel dan menyatu dengan kepala Raja Singabarong. Raja Singabarong marah bukan kepalang, lalu ia mencabut kerisnya dan meloncat untuk menyerang Raja Kelanaswandana. Namun Raja Kelanaswandana segera mengayunkan cambuk saktinya yang bernama Samandiman ketubuh Raja Singabarong. Cambuk itu dapat megeluarkan hawa panas dan suaranya seperti halilintar.

Begitu terkena sabetan Cmbuk itu, Raja Singabarong terpental dan mengglepar-glepar diatas tanah. Seketika ubuhnya terasa lemah dan berubah menjadi  binatang aneh, berkepala dua yaitu harimau dan merak. Ia tidak dapat berbicara dan akalnya pun hilang. Raja Kelanaswandana segera memerintahka prajuritnya untuk menangkap Singabarong dan membawanya ke negeri Bandarangin.

Beberapa hari kemudian Raja Kelanaswandana mengirim utusan yang memberitahukan Raja Kediri bahwa ia segera datang membawa persyaratan Dewi Sanggalangit. Raja Kediri langsung memanggil Dewi Sanggalangit.

"Anakku apa kau benar-benar bersedia menjadi istri dari Raja Kelanaswandana??"

"Ayahanda, apakah Raja Kelanaswandana sanggup untuk memenuhi semua persyaratan yang telah hamba sampaikan??"

"Tentu saja, Dia akan datang dengan semua persyaratan yang kau ajukan, masalahnya sekarang apakah kau tidak menyesal juka harus menjadi istri Raja Kelanaswandana??".

"Jika hal itu sudah menjadi jodoh, hamba akan menerimanya sebagai Suami hamba ayahanda, dan hamba akan merubah kebiasaan buruk Raja Kelanaswandana yag suka kepada laki-laki itu."

Demikianlah, pada hari yang sudah ditentukan datanglah rombongan Raja Kelanaswandana dngan kesenian yang diberi nama Reog sebagai pengiring. Raja Kelanaswandana datang dengan iringan seratus empat puluh ekor kuda kembar, dengan suara gamelan, kendang, dan terompet aneh yang menimbulkan perpaduan suara aneh tapi merdu dan mendayu-dayu. Ditambah lagi dengan hadirnya binatang aneh yang berkepala dua, yaitu harimau dan merak.

Pada akhirnya Dewi Sanggalangit lalu menikah dengan Raja Kelanaswandana dan Dewi Sanggalangit diboyong ke kerajaan Bandarangin di Wengker untuk dijadikan permaisurinya. Lalu kesenian ini dinamai sebagai Reog yang sering kita lihat di pertunjukan.